Apakah Filosofi “Banyak Anak Banyak Rezeki” Masih Relevan? Antara Mitos dan Data

Perdebatan mengenai relevansi filosofi “banyak anak banyak rezeki” di era modern dalam masyarakat Jawa menuai polemik. Di satu sisi, filosofi ini dianggap sebagai kebijaksanaan turun-temurun yang mengakar dalam nilai religius dan kultural. Di sisi lain, kritik modern menudingnya sebagai mitos usang yang justru mendorong kemiskinan dan ketimpangan pendidikan.

Tulisan ini secara singkat mendiskusikan akar historis filosofi tersebut, menganalisis transformasi maknanya di era modern, serta menguji klaim-klaimnya melalui bukti empiris. Pada akhirnya, tulisan ini berargumen bahwa filosofi ini tidak lagi relevan dalam konteks sosial dan ekonomi Indonesia modern, dan keberlanjutannya hanya akan menjebak masyarakat dalam lingkaran kemiskinan struktural.

Akar Historis dan Perkembangan Filosofis

Filosofi “banyak anak banyak rezeki” lahir dari rahim penindasan kolonial Belanda abad ke-19. Kebijakan cultuurstelsel (1830–1870) yang memaksa petani Jawa menyerahkan 20% lahan atau bekerja paksa di perkebunan ekspor menciptakan sistem ekonomi yang mengandalkan tenaga kerja massal dan murah.

Seperti dijelaskan Latifatul Izzah (2017) dalam tulisannya berjudul “Munculnya Filosofi “Banyak Anak Banyak Rizki” pada Masyarakat Jawa Masa Cultuurstelsel”, pemerintah kolonial sengaja mengubah sistem kepemilikan tanah dari individu menjadi komunal untuk memudahkan eksploitasi.

Petani yang tidak mampu membayar pajak diwajibkan menyediakan tenaga kerja dari keluarga mereka sendiri. Dalam kondisi ini, memiliki banyak anak menjadi strategi bertahan (survival), semakin besar keluarga, semakin ringan beban kerja yang harus dipikul tiap individu. Distrik agroindustri seperti Karesidenan Madiun mengalami lonjakan populasi hingga 40% dalam dua dekade, sekaligus menjadi bukti keberhasilan strategi kolonial dalam mengkomodifikasi manusia sebagai alat produksi (Izzah, 2017).

Namun, pascakemerdekaan, filosofi ini tidak serta-merta hilang. Filosofi bertransformasi menjadi narasi religius-kultural yang romantis. Dalam studi etnografis Enung Hasanah (2023) bertajuk “Java Community Philosophy: More Children, Many Fortunes”, terungkap bahwa 93% partisipan dari keluarga marginal hingga kelas menengah di Yogyakarta masih memegang teguh keyakinan bahwa “anak adalah rezeki Tuhan.” Mereka menolak program Keluarga Berencana (KB) dengan argumen bahwa penggunaan kontrasepsi melanggar takdir ilahi.

Hasanah mencontokan salah satu pengakuan dari informannya, seorang dosen dengan delapan anak, menyatakan: “Allah sudah mengatur rezeki setiap anak. Menolak kelahiran sama dengan tidak bersyukur.” Narasi ini diperkuat oleh pandangan bahwa anak adalah “pengikat rumah tangga”, keluarga tanpa anak dianggap rentan perceraian, sehingga adopsi pun menjadi solusi alternatif.

Transformasi filosofi tersebut pada perkembangannya menyesuaikan diri dalam klaim modern: “setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri.” Jika dahulu anak dihitung sebagai tenaga kerja, kini mereka dianggap sebagai entitas mandiri yang “tidak perlu dikhawatirkan.”

Hasanah lebih jauh menjelaskan bahwa perpindahan paradigma filosofi masyarakat Jawa, dari “banyak anak banyak rezeki” menjadi “anak membawa rezekinya sendiri-sendiri”, mencerminkan dinamika budaya yang dipengaruhi oleh perubahan sosial, ekonomi, dan religius.

Pada masa kolonial, filosofi awal lahir dari kebutuhan pragmatis, banyak anak dianggap sebagai aset ekonomi untuk membantu pekerjaan di perkebunan dan meringankan beban pajak. Keyakinan bahwa setiap anak membawa rezeki sendiri didasarkan pada kepercayaan religius bahwa Tuhan menjamin kebutuhan hidup setiap individu, sehingga orang tua tidak perlu khawatir akan kemiskinan.

Namun, di era modern, makna “rezeki” mengalami transformasi. Anak tidak lagi dilihat sebagai kontributor langsung bagi ekonomi keluarga melalui tenaga fisik, melainkan sebagai penerus yang perlu diinvestasikan melalui pendidikan formal dan informal untuk meraih kesuksesan di masa depan.

Pergeseran ini dipicu oleh urbanisasi, meningkatnya akses pendidikan, dan perubahan struktur ekonomi dari agraris ke sektor industri dan jasa, yang menuntut keterampilan spesifik.

Meski keyakinan bahwa “setiap anak membawa rezekinya sendiri” tetap dipegang, terutama di kalangan religius, muncul pula kesadaran akan biaya hidup tinggi dan tuntutan kompetitif dunia modern. Hal ini menciptakan ketegangan antara pandangan tradisional dan realitas kontemporer.

Di satu sisi, anak tetap dianggap sebagai berkah yang memperkuat ikatan keluarga dan sumber kebahagiaan, bahkan menjadi “penjaga” keharmonisan rumah tangga. Di sisi lain, dalam keluarga dengan sumber daya terbatas, memiliki banyak anak tanpa perencanaan bisa dianggap sebagai liabilitas, terutama jika orang tua kesulitan memenuhi kebutuhan dasar dan pendidikan anak.

Program keluarga berencana dan kampanye pemerintah turut memengaruhi kesadaran akan pentingnya mengatur jumlah anak demi kualitas hidup. Namun, bagi sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang filosofi tradisional, keyakinan akan jaminan rezeki dari Tuhan menjadi alasan untuk tetap menerima kelahiran anak secara alami, meski makna “rezeki” kini lebih mengarah pada keberkahan non-material dan harapan akan mobilitas sosial melalui pendidikan anak.

Dengan demikian, pergeseran paradigma ini tidak sepenuhnya meninggalkan nilai lama, tetapi menyesuaikannya dengan konteks modern yang kompleks. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah meski klaim “anak membawa rezeki sendiri” terdengar spiritual, dia kerap mendorong pengabaian tantangan realitas ekonomi modern (Putri et al., 2022).

Mitos Versus Data

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, filosofi “banyak anak banyak rezeki” yang mengakar dalam budaya Jawa kerap diyakini sebagai jalan menuju kemakmuran melalui peningkatan tenaga kerja dan dukungan sosial di antara anggota keluarga.

Tiga penelitian empiris yang akan disajikan setelah ini, dengan metode, data, dan konteks berbeda, menunjukkan bahwa filosofi ini tidak lagi relevan dalam struktur sosial dan ekonomi modern, terutama di tengah ketimpangan akses pendidikan dan tekanan populasi.

Penelitian berjudul “The Impact of Fertility on Family Welfare” yang ditulis oleh Putri dan tim (2022) menganalisis dampak fertilitas terhadap kesejahteraan keluarga melalui survei terhadap 20 responden di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 95% responden tidak menganggap anak sebagai beban ekonomi, meskipun 47,37% berasal dari keluarga berpendapatan rendah dan hanya 5,26% berpendapatan tinggi.

Namun, data makro Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 yang dirujuk dalam penelitian ini mengungkap peningkatan persentase penduduk miskin sebesar 10,19% selama pandemi COVID-19, yang dikaitkan dengan lonjakan fertilitas.

Temuan ini mengindikasikan kesenjangan antara persepsi subjektif keluarga (yang masih dipengaruhi norma tradisional) dengan realitas struktural objektif, di mana pertumbuhan populasi yang tidak diimbangi peningkatan kapasitas ekonomi justru memperburuk kemiskinan.

Studi lebih mendalam dilakukan oleh Wijanarko & Wisana (2019) dalam artikel Does the Number of Siblings Affect Adult Income? An Indonesian Case Study. Menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS5) tahun 2014 terhadap 9.747 responden, penelitian ini menemukan bahwa jumlah saudara kandung tidak berpengaruh langsung pada pendapatan, tetapi memiliki dampak tidak langsung melalui pendidikan.

Setiap penambahan satu saudara mengurangi rata-rata lama sekolah sebesar 0,078 tahun, sementara peningkatan satu tahun pendidikan meningkatkan pendapatan sebesar 10,7%. Temuan ini selaras dengan teori resource dilution, di mana orang tua dengan banyak anak cenderung membagi sumber daya terbatas, seperti biaya sekolah, waktu, dan perhatian, secara tidak merata, sehingga menghambat pengembangan human capital.

Dalam konteks Jawa, di mana filosofi keluarga besar masih dominan, pola ini berpotensi memicu lingkaran kemiskinan, karena anak-anak dari keluarga miskin cenderung putus sekolah lebih awal untuk membantu ekonomi keluarga.

Bukti penelitian skala nasional datang dari penelitian Feng (2019) berjudul “The Effect of Sibling Size on Children’s Educational Attainment: Evidence From Indonesia”. Dengan menganalisis data sensus penduduk Indonesia tahun 2010 (meliputi 4,3 juta anak), Feng menggunakan variabel instrumen twin birth (kelahiran kembar) untuk membuktikan hubungan sebab-akibat antara jumlah saudara dan capaian pendidikan.

Hasilnya menunjukkan bahwa setiap tambahan anak dalam keluarga mengurangi rata-rata lama sekolah sebesar 0,107 tahun, menurunkan kemungkinan bersekolah sebesar 1,6%, dan menurunkan tingkat pendidikan tertinggi sebesar 1,4%.

Efek ini lebih kuat pada anak dari keluarga Muslim (87% populasi Jawa), pedesaan, dan ibu berpendidikan rendah. Misalnya, anak dari ibu yang tidak menamatkan pendidikan menengah kehilangan 0,108 tahun sekolah per tambahan saudara, lebih tinggi daripada anak dari ibu berpendidikan lebih baik (0,107 tahun).

Temuan ini menegaskan bahwa di Jawa dengan tradisi keluarga besar dan keterbatasan infrastruktur pendidikan, filosofi “banyak anak banyak rezeki” justru menjadi penghambat mobilitas sosial.

Ketiga penelitian ini secara kolektif membongkar mitos di balik filosofi Jawa tersebut. Alih-alih mendatangkan kemakmuran, jumlah anak yang besar dalam kondisi ketimpangan sumber daya justru memperumit masalah struktural: pengurangan investasi pendidikan, penurunan kualitas human capital, dan peningkatan tekanan ekonomi.

Data BPS tahun 2020 tentang kemiskinan serta temuan Feng (2019) tentang disparitas pendidikan di pedesaan Jawa menjadi bukti nyata bahwa filosofi ini tidak lagi sesuai dengan tantangan pembangunan modern.

Di masa lalu, nilai ini mungkin relevan dalam masyarakat agraris yang mengandalkan tenaga kerja manual, tetapi dalam ekonomi berbasis pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan justru ditentukan oleh kualitas bukan kuantitas generasi penerus.

Lantas, mengapa mitos ini masih bertahan? Pertama, legitimasi religius digunakan untuk menghindari tanggung jawab struktural. Kedua, stigma sosial menganggap keluarga kecil sebagai “tidak berbakti,” sementara keluarga besar dianggap simbol kesalehan (Hasanah, 2023).

Ketiga, kegagalan negara dalam menyediakan akses pendidikan dan lapangan kerja layak memaksa keluarga mengandalkan anak sebagai “investasi” jangka panjang, sebuah praktik yang ironisnya justru menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan multigenerasi (Feng, 2019; Hasanah, 2023).

Penutup

Filosofi “banyak anak banyak rezeki” maupaun “anak membawa rezeki sendiri-sendiri” adalah produk sejarah yang telah kehilangan relevansinya. Jika dahulu ia menjadi solusi atas penindasan kolonial, kini ia berubah menjadi bom demografis yang mengancam kualitas generasi mendatang.

Klaim “anak membawa rezeki sendiri” hanya mitos yang mengaburkan tanggung jawab struktural negara dan keluarga dalam memastikan kesetaraan akses pendidikan. Dengan demikian, filosofi “banyak anak banyak rezeki” perlu ditinjau ulang sebagai bagian dari upaya memutus siklus kemiskinan dan ketimpangan di Jawa.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Scroll to Top