Apa Benar IQ Orang Indonesia itu 78,5?

Klaim bahwa rata-rata IQ nasional Indonesia berada di angka 78,5 telah memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Richard Lynn dan David Becker dalam buku berjudul “The Intelligence of Nations” (2019).

Mereka berargumen bahwa tingkat kecerdasan rata-rata suatu negara berkorelasi dengan kemajuan ekonomi, dan Indonesia dianggap sebagai contoh negara dengan IQ rendah sehingga mengalami stagnasi kesejahteraan.

Tulisan ini mengkaji dua aspek terkait klaim tersebut. Pertama, bagaimana Lynn dan Becker sampai pada kesimpulan tersebut melalui penggabungan data studi-studi terdahulu yang tidak representatif.

Kedua, kelemahan metodologis yang diungkap oleh Rebecca Sear yang menunjukkan kerapuan dataset IQ Nasional secara umum dari Richard Lynn dan David Becker. Pada akhirnya, tulisan ini berargumen bahwa angka 78,5 tidak hanya tidak valid secara ilmiah, tetapi juga berpotensi membentuk narasi diskriminatif yang mengabaikan kompleksitas sosio-kultural Indonesia.

Metode Penelitian Lynn & Becker

Lynn dan Becker sampai pada kesimpulan rata-rata IQ nasional Indonesia berada di angka 78,5 dengan menggabungkan data dari penelitian-penelitian terdahulu yang yang menggunakan tes nonverbal seperti Coloured Progressive Matrices (CPM) dan Standard Progressive Matrices (SPM).

Catatan penting, data-data yang dikumpulkan dari penelitian-penelitian terdahulu tersebut memiliki populasi target yang sangat spesifik dan sampel kecil yang tidak representatif dalam menggambarkan situasi nasional, seperti anak-anak dengan kekurangan yodium di Jawa Timur (Bleichrodt dkk., 1980), korban PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) pasca-tsunami di Aceh (de Neubourg, 2011), mahasiswa di Bali (Rindermann & te Nijenhuis, 2012), atau anak tanpa stunting di daerah terpencil (Heilmann, 2013).

Skor mentah dari kelompok-kelompok spesifik ini dikonversi ke skor IQ menggunakan norma populasi Inggris (GBR-P), lalu dikoreksi dengan Flynn Effect (FE) secara tidak konsisten. Misalnya, koreksi FE menambah skor +5,67 untuk sampel anak usia 7,5 tahun, tetapi mengurangi -0,21 untuk remaja 13,5 tahun di daerah yang sama, tanpa penjelasan ilmiah yang memadai.

Lynn dan Becker menutup pembahasannya dengan menyatakan bahwa kesimpulan tersebut diperkuat oleh data prestasi akademik Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yang sejalan dengan temuan IQ rendah.

Alhasil, nilai akhir 78,49–78,51 mencerminkan akumulasi dari kompleksitas penelitian terdahulu yang spesifik, dukungan data-data prestasi akademik Indonesia, serta metodologi pengukuran yang patut dipersoalkan.

Kelemahan-kelemahan Dataset IQ Nasional Lynn & Becker

Rebecca Sear mengajukan kritik terhadap dataset “IQ Nasional” yang dikembangkan oleh Lynn dan Becker dalam tulisan berjudul “‘National IQ’ datasets do not provide accurate, unbiased or comparable measures of cognitive ability worldwide” (2022).

Sear menegaskan bahwa metodologi yang digunakan dalam penelitian tersebut mengandung sejumlah kelemahan fundamental, sehingga patut ragu terhadap validitas kesimpulan tentang kecerdasan rata-rata suatu negara. Sear menyebut sejumlah kelemahan tersebut sebagai berikut:

Pertama, Sear menyoroti sampel yang tidak representatif sebagai masalah utama. Dataset IQ nasional mengandalkan data dari kelompok kecil, seringkali anak-anak, atau kelompok dengan karakteristik khusus (misalnya, pengungsi, penderita kondisi kesehatan tertentu), yang tidak mencerminkan populasi nasional secara utuh.

Contohnya, di sub-Sahara Afrika, IQ nasional diestimasi dari sampel anak yatim piatu di panti asuhan atau kelompok etnis minoritas, yang jelas tidak mewakili keragaman populasi. Masalah serupa terlihat di wilayah lain, termasuk Asia Tenggara, di mana sampel mungkin hanya mencakup kelompok usia tertentu atau daerah terbatas.

Begitu juga dalam kasus di Indonesia. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sebagian besar data Indonesia berasal dari penelitian yang mengangkat kelompok spesifik. Misalnya, studi Bleichrodt dkk. (1980) hanya melibatkan anak-anak dengan kondisi kekurangan yodium, kelompok yang secara biologis rentan terhadap gangguan kognitif.

Sementara itu, studi Heilmann (2013) menguji anak tanpa stunting di daerah terpencil, lalu menggeneralisasikannya ke seluruh Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki keragaman geografis dan sosio-ekonomi yang ekstrem, sehingga sampel sempit ini tidak memadai untuk mewakili 270 juta penduduk.

Kedua, selain sampel yang tidak representatif, ukuran sampel yang digunakan sangat kecil. Sear menunjukkan bahwa 37% sampel dalam dataset Lynn & Becker berjumlah kurang dari 1.000 individu, bahkan beberapa negara seperti Angola dan Republik Dominika hanya diwakili oleh 19 hingga 34 partisipan. Sampel sekecil ini tidak memadai untuk menggeneralisasi kecerdasan rata-rata suatu negara yang berpenduduk jutaan.

Hal ini juga berlaku dalam analisis Lynn & Becker di Indonesia, di mana mereka mengandalkan data dari kelompok kecil, misalnya, mahasiswa di wilayah tertentu, sehingga hasilnya tidak dapat dianggap mewakili seluruh populasi.

Ketiga, Sear menyebut variasi tes kognitif dan manipulasi data menambah ketidakakuratan. Lynn & Becker menggabungkan hasil dari berbagai tes (CPM, SPM, APM) yang tidak dirancang untuk perbandingan lintas budaya. Konversi skor mentah ke IQ menggunakan norma populasi Inggris juga bermasalah, karena mengabaikan perbedaan budaya, pendidikan, dan motivasi saat pengujian.

Proses ini arbitrer, terutama karena perbedaan desain tes, SPM mengukur kemampuan berbeda dengan APM. Misalnya di Indonesia, Lynn dan Becker mengutip studi Suwartono (2017) yang menguji mahasiswa dengan SPM (skor mentah 47,20), lalu dikonversi ke APM dengan asumsi tidak jelas, menghasilkan IQ 91,35 sebelum dikoreksi.

Sear juga mengungkap bahwa Lynn dan Becker sering mengubah data mentah berdasarkan prasangka. Contohnya, dalam studi di Gambia, mereka mengasumsikan peserta “tidak mampu mengerjakan tes sulit” lalu memanipulasi skor mentah. Studi di Mali menunjukkan bahwa tes Raven’s secara sistematik meremehkan kecerdasan anak-anak karena ketidakcocokan budaya.

Keempat, bias sistematis dalam seleksi data memperparah ketidakvalidan. Sear menemukan bahwa Lynn & Becker kerap mengabaikan studi dengan hasil IQ tinggi di negara berpenghasilan rendah, sambil mempertahankan studi dengan metodologi lemah yang mendukung narasi negara tersebut memang memiliki “IQ rendah”.

Proses ini tidak transparan karena tidak ada kriteria inklusi atau eksklusi yang jelas. Dalam kasus Indonesia, jika studi yang digunakan hanya mencakup kelompok dengan masalah kesehatan (seperti stunting atau infeksi parasit) atau anak-anak di daerah terpencil, skor IQ akan cenderung lebih rendah daripada populasi umum.

Terakhir, konstruk kecerdasan yang tidak setara lintas budaya menjadi masalah konseptual. Tes IQ dirancang dalam konteks budaya Barat dan tidak mengukur kemampuan kognitif universal. Motivasi, pengalaman pendidikan, dan paparan tes formal memengaruhi hasil. Studi di Ethiopia, misalnya, gagal menguji anak pedesaan karena kesulitan administrasi tes, sehingga hanya data anak perkotaan yang digunakan.

Di Indonesia, ketimpangan akses pendidikan antardaerah dan variasi pengalaman kultural dapat menyebabkan hasil tes tidak menggambarkan kemampuan kognitif sesungguhnya. Lebih problematis lagi, agenda ideologis terlihat jelas dalam buku tersebut. Lynn dan Becker menganjurkan kebijakan eugenika, seperti membatasi imigrasi dari negara “ber-IQ rendah”, yang menunjukkan bias dalam interpretasi data.

Penutup

Alhasil, klaim bahwa rata-rata IQ Indonesia adalah 78,5 muncul dari metode penelitian yang bermasalah: penggunaan sampel yang tidak mewakili seluruh populasi, tes yang tidak adil karena perbedaan budaya, pengubahan data secara sepihak, serta dorongan kepentingan tertentu.

Angka ini juga tidak memperhatikan keberagaman budaya dan kondisi nyata di Indonesia, termasuk kemajuan di bidang pendidikan dan perekonomian. Selama tidak ada penelitian nasional yang menggunakan alat ukur standar dan disesuaikan dengan situasi lokal, klaim tentang IQ Indonesia sementara ini tidak dijadikan acuan.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Scroll to Top