Kebahagiaan Indonesia dalam Lensa World Happiness Report 2025

Pada tulisan sebelumnya, telah dibahas bagaimana World Happiness Report mengukur kebahagiaan populasi antarnegara, sekaligus mengapa Finlandia menduduki posisi puncak. Kini, kita membahas Indonesia dalam lensa World Happiness Report 2025.

Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 147 negara dalam World Happiness Report 2025, dengan skor kebahagiaan 5,617. Skor ini didasarkan pada rata-rata tiga tahun evaluasi hidup (Cantril Ladder) dari Gallup World Poll periode 2022-2024.

Posisi Indonesa lebih rendah daripada negara tetangga Filipina (peringkat 57) dan Thailand (49), tetapi lebih tinggi dari Aljazair (84). Yang menarik adalah kontradiksi dalam profil kebahagiaan Indonesia. di satu sisi, Indonesia menjadi juara dunia dalam kedermawanan (peringkat pertama untuk donasi dan partisipasi relawan), namun di sisi lain, kinerjanya terhambat oleh ketimpangan dan keterbatasan dukungan sosial.

Data World Happiness Report 2025 mengungkap fenomena menarik. Pertama, Indonesia menempati peringkat pertama global untuk frekuensi donasi amal. Kedua, negara ini juga peringkat pertama dalam partisipasi kegiatan relawan. Ketiga, dalam hal membantu orang asing, Indonesia berada di peringkat 59, masih di atas rata-rata dunia. Pola ini selaras dengan budaya gotong royong yang mengakar di masyarakat.

Namun, laporan tersebut juga menunjukkan dampak dukungan sosial terhadap kebahagiaan (+2,686) jauh lebih besar dibandingkan kedermawanan (+0,382). Artinya, bantuan sporadis kepada sesama tidak dapat menggantikan peran sistem dukungan sosial yang berkelanjutan.

Di Indonesia, kedermawanan cenderung bersifat reaktif, seperti respons terhadap bencana atau kegiatan keagamaan, bukannya menjadi infrastruktur sehari-hari yang menjangkau masalah kronis seperti pengangguran atau akses kesehatan.

Laporan WHR juga mengidentifikasi dua tantangan struktural utama. Pertama, ketimpangan kebahagiaan domestik, di mana selama 20 tahun terakhir, ketimpangan kebahagiaan global meningkat 25%. Indonesia mengalami tren serupa, di mana kedermawanan tinggi terkonsentrasi pada kelompok mampu, sementara kelompok rentan minim akses ke jaringan pendukung.

Kedua, persepsi korupsi yang termasuk kategori tinggi. Koefisien regresi WHR membuktikan korupsi mengurangi kebahagiaan (-0,669) karena merusak kepercayaan pada institusi penopang dukungan sosial.

Analisis kawasan ASEAN dalam laporan ini semakin mempertegas tantangan Indonesia. Thailand (peringkat 49) mengandalkan sistem kesehatan inklusif untuk meningkatkan harapan hidup sehat (dampak kunci: +0,032). Filipina (peringkat 57) mengoptimalkan kebebasan membuat pilihan hidup sebagai penopang utama (dampak: +1,518).

Sementara Malaysia (peringkat 64) menggabungkan kedermawanan (peringkat 19 donasi) dengan stabilitas ekonomi. Indonesia memang unggul dalam kedermawanan, tetapi tertinggal dalam tiga variabel lainnya: kebebasan memilih hidup, harapan hidup sehat, dan dukungan sosial yang terinstitusionalisasi.

Potensi solusi terletak pada transformasi kedermawanan sporadis menjadi infrastruktur kepercayaan ala Finlandia. Negara peringkat pertama itu membuktikan bahwa tingkat pengembalian dompet hilang mencapai 81% (bandingkan dengan rata-rata global 47%) berkat ekosistem kepercayaan yang dibangun melalui jaminan sosial universal.

Indonesia bisa meniru dengan dua strategi. Pertama, menciptakan mekanisme integrasi antara filantropi masyarakat dan program negara. Misalnya, saluran donasi transparan untuk bantuan kesehatan kronis atau pelibatan relawan dalam pendampingan kelompok miskin perkotaan. Kedua, reformasi birokrasi untuk memangkas prosedur rumit yang memicu persepsi korupsi, mengingat dampak negatifnya yang signifikan pada kebahagiaan.

Peringkat 83 Indonesia bukanlah akhir perjalanan, melainkan titik awal untuk membangun model kebahagiaan hybrid. Dengan modal kedermawanan peringkat satu dunia, Indonesia berpotensi memadukan kekuatan gotong royong tradisional (tingkat mikro) dengan kebijakan inklusif (tingkat makro).

Belajar dari Finlandia, kebahagiaan sejati lahir ketika kedermawanan tidak lagi sekadar respons darurat, melainkan sistem saling percaya yang berkelanjutan, tempat negara menjamin bahwa bantuan hadir bukan hanya saat banjir, tapi juga ketika warga kehilangan pekerjaan atau menghadapi sakit berkepanjangan.

Penutup

World Happiness Report 2025 mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah kompetisi kedermawanan individual, melainkan arsitektur sosial-politik yang dibangun bersama. Indonesia telah memiliki bahan baku utama (kedermawanan peringkat satu), tetapi perlu merekayasanya menjadi sistem dukungan berkelanjutan. Belajar dari Finlandia, kuncinya terletak pada mengubah gotong royong menjadi kepercayaan institusional, di mana negara menjamin bantuan tidak hanya hadir saat banjir, tetapi juga ketika warga kehilangan pekerjaan atau sakit berkepanjangan. Dengan strategi ini, skor kebahagiaan 5,617 bukanlah takdir, melainkan titik awal menuju Indonesia yang lebih sejahtera.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Scroll to Top