Berdasarkan catatan Brian Regal dalam buku “Pseudoscience: A Critical Encyclopedia” (2009), budaya pemburuan hantu telah berevolusi dari upaya “ilmiah” abad ke-19 menjadi fenomena hiburan massal. Intinya selalu sama: klaim sains dan sensasionalisme media beradu.
Di Amerika, acara Ghost Hunters menampilkan tim TAPS (The Atlantic Paranormal Society), sekumpulan amatir tanpa latar belakang sains, yang menjelajahi lokasi angker dengan peralatan seperti kamera inframerah dan perekam audio. Mereka mengaku ingin membuktikan atau menyangkal keberadaan hantu, tetapi metode mereka bermasalah.
Misalnya, mereka sering menyimpulkan ada hantu hanya karena suhu turun tiba-tiba, tanpa mempelajari penyebab ilmiah di baliknya. Jason Hawes dan Grant Wilson, pendiri TAPS yang bekerja sebagai tukang ledeng, memang berguna saat mendeteksi suara aneh yang ternyata berasal dari pipa bocor.
Namun, kegagalan mereka dalam memverifikasi “bukti”, seperti suara dalam rekaman EVP (Electronic Voice Phenomena) yang mungkin cuma gangguan teknis, memperlihatkan bahwa hiburan lebih penting daripada sains.
Di Indonesia, fenomena ini punya ciri khas. Acara seperti Dunia Lain (tayang sejak akhir 1990-an) tak fokus pada pembuktian ilmiah, melainkan pada dramatisasi “uji nyali”. Peserta, dari orang biasa sampai selebriti, ditempatkan di tempat angker seperti Lawang Sewu atau makam tua. Kamera menangkap reaksi mereka saat mendengar suara atau melihat bayangan misterius.
Alat seperti termometer dan EMF (Electromagnetic Field) meter dipakai secara teatrikal, mirip TAPS, tapi dengan sentuhan lokal: kisah kuntilanak atau genderuwo jadi bumbu utama. Tantangannya serupa: tak ada pemeriksaan independen terhadap “bukti”, dan perubahan suhu tetap dianggap “tanda hantu”.
Di era digital, grup seperti Ghost Ranger Indonesia (GRIN) atau konten Sara Wijayanto muncul. Mereka menyelidiki lokasi angker dengan kamera berkualitas, merekam EVP, dan mengunggahnya ke YouTube.
Kesuksesan mereka, sampai punya konten berbayar, menunjukkan pemburuan hantu telah jadi komoditas digital. Tapi penggunaan alat elektronik modern mengulang masalah TAPS: klaim deteksi hantu lewat EMF meter tak didukung dasar ilmiah.
Akar masalahnya, menurut sejarah panjang yang diurai Regal, adalah metodologi yang kacau. Sejak era spirit fotografi abad ke-19 hingga kamera inframerah modern, pemburu hantu gagal mendefinisikan apa itu “hantu”.
Harry Price, pemburu hantu Inggris tahun 1930-an yang menyelidiki Borley Rectory, pernah mencoba pendekatan lebih sistematis. Ia merekrut 40 relawan, membuat panduan investigasi terinci, dan mencatat fenomena seperti poltergeist (entitas supranatural) melempar batu atau tulisan di dinding yang diklaim berasal dari biarawati hantu. Namun, reputasinya ternoda ketika foto “batu terbang” saat gereja diruntuhkan dituduh palsu.
Lembaga seperti Committee for Skeptical Inquiry (CSI) dan Committee for the Scientific Investigation of Claims of the Paranormal (CSICOP) berusaha menguji klaim paranormal dengan metode ketat.
Misalnya, CSICOP membongkar tipuan spirit photographer William Hope pada 1922 melalui eksperimen terkontrol. Laboratorium universitas seperti Rhine Research Center di Duke University atau Koestler Parapsychology Unit di Edinburgh juga meneliti klaim paranormal dalam setting terkontrol, tetapi fokusnya pada psikologi persepsi, bukan memburu hantu di lapangan.
Di Indonesia, minimnya kolaborasi dengan ahli fisika atau psikolog membuat investigasi acara seperti Dunia Lain rentan salah tafsir. Misalnya, “bisikan hantu” bisa jadi desau angin di lorong, atau fluktuasi EMF dari kabel listrik tersembunyi, persis seperti suara yang diklaim EVP oleh TAPS.
Contoh klasik kelemahan bukti fisik adalah ectoplasm. Zat kabur yang diklaim dikeluarkan medium ini (seperti dalam eksperimen Gustave Geley dengan medium Franek Kluski tahun 1919) ternyata tipuan: contoh yang dianalisis terbuat dari kain atau gelatin.
Pola serupa terulang di era digital: teknologi berubah, tapi logika pseudosains tetap sama. Alat canggih hanya memberi ilusi objektivitas, sementara dasar klaim, seperti anggapan “hantu menurunkan suhu”, tak pernah diverifikasi.
Konteks Indonesia menambah lapisan khas. Berbeda dengan TAPS yang konfrontatif (misalnya mengumpat untuk memancing hantu), pemburu hantu lokal sering memasukkan ritual adat.
Kru Dunia Lain kerap memasukkan unsur sesajen atau meminta izin “penunggu tempat” sebelum investigasi, suatu bentuk penghormatan pada kearifan lokal. Tapi etika ini bertabrakan dengan tuntutan hiburan. Ketika situs sakral seperti makam leluhur dijadikan latar kejutan, batas antara penghormatan dan eksploitasi jadi kabur.
Pada akhirnya, pemburuan hantu, dari Borley Rectory hingga Lawang Sewu, menunjukkan satu pola yang tetap: ketiadaan bukti yang konsisten. Laboratorium parapsikologi universitas pun, meski serius meneliti persepsi manusia, tak pernah membuktikan eksistensi hantu sebagai entitas independen.
Seperti dicatat Regal, “there is nothing more than anecdotal evidence that the soul continues to exist after physical death”. Teknologi hanya memberi alat baru untuk pertanyaan lama yang tak terjawab. Hiburan mungkin bertahan, tapi sains masih menunggu metodologi yang valid.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Realitas Virtual dan Relevansinya dengan Kepercayaan Supernatural