“The Secret” dan “Law of Attraction (LoA)” pernah mengguncang dunia. Diterbitkan tahun 2006, buku karya Rhonda Byrne itu terjual lebih dari 30 juta eksemplar, diterjemahkan ke 50 bahasa, dan diadaptasi menjadi film dokumenter.
Seminar LoA dipadati ribuan orang, afirmasi “positive thinking” membanjiri media sosial, dan jargon “you create your own reality” menjadi mantra modern. LoA menjanjikan solusi instan, atau bahkan tepatnya ajab seperti sihir: Pikirkan kekayaan, maka kekayaan akan menghampirimu! Bayangkan kesembuhan, maka penyakit akan lenyap!
Tulisan Serena Dawn Hashimoto berjudul “Prophetic Performances: The New Age’s Pending Efficacy through Self-Prophecy” (2018) dapat menjelaskan mengapa LoA laris manis, serta mengungkap bahwa LoA adalah sihir palsu berkedok sains (pseudosains), sebuah sistem keyakinan yang mengeksploitasi harapan sekaligus menyembunyikan mekanisme manipulatif di dalamnya.
Tulisan singkat ini akan membedah tiga ilusi kunci LoA berdasarkan temuan Hashimoto.
Pertama, LoA mengubah pikiran menjadi nubuat self-prophecy. Dalam “The Secret”, individu diposisikan sebagai “nabi” bagi hidupnya sendiri: pikiran dianggap memiliki kekuatan magis menciptakan realitas. Misalnya, kemiskinan dianggap buah “pola pikir negatif”, sementara penyakit kronis dituduh akibat “fokus pada ketakutan”.
Logika ini, tulis Hashimoto, secara kejam menyalahkan korban secara sistemik. Contoh ekstremnya terlihat saat Byrne menyatakan korban perang “memiliki frekuensi pikiran yang selaras dengan bencana”, sebuah pernyataan yang mengubah penderitaan kolektif menjadi dosa personal.
Kedua, LoA bertahan lewat strategi temporal ambiguity. Janji manifestasi “akan terwujud” sengaja dibuat kabur tanpa deadline jelas. Ketika gagal, kambing hitamnya selalu sama, “Kurang sabar!” atau “Pikiran dominanmu belum cukup kuat!”.
Pola ini, menurut Hashimoto, menciptakan sistem tertutup yang tak terbantahkan. Ia menganalogikannya dengan ramalan Oedipus dalam mitos Yunani, di mana nubuat itu “terbukti benar” bukan karena kekuatan ilahi, melainkan karena bahasanya ambigu sehingga bisa cocok dengan keadaan apa pun. LoA memakai taktik serupa, menjadikan waktu sebagai tameng dari kegagalan.
Ketiga, LoA berfungsi sebagai ideological fetish, Hashimoto mengutip filsuf Slavoj Žižek. Ia menjadi “penghibur palsu” yang melanggengkan ketidakadilan. Alih-alih mempertanyakan mengapa upah rendah atau akses kesehatan mahal, penganut LoA disibukkan dengan “memikirkan kekayaan”.
Ironisnya, sementara mereka berjuang melawan “pikiran negatif”, pencipta “The Secret” menjadi miliarder dari penjualan buku dan seminar mahal. Hashimoto menegaskan: LoA adalah “suplemen sempurna” kapitalisme karena mengubah potensi kritik sosial menjadi obsesi introspeksi diri.
Bahasa LoA pun dirancang sebagai ritual hipnosis. Afirmasi “Aku sudah kaya!”, yang memaksakan bentuk kini untuk hal belum terjadi, meniru pola future anterior Jacques Lacan: fantasi tentang sesuatu yang “akan telah terjadi”.
Dalam praktik, bahasa ini mengaburkan garis antara realitas dan khayalan. Dampaknya fatal, korban kekerasan atau pasien sakit parah malah disuruh “memperbaiki frekuensi pikiran”, mengabaikan akar masalah struktural.
Popularitas LoA, menurut Hashimoto, bukan bukti kebenarannya, melainkan cermin kerentanan manusia terhadap janji keselamatan instan.
Klaim “kamu adalah pencipta nasibmu” hanyalah versi modern dari nubuat kuno, dikemas sebagai self-help, tapi berujung pada penyalahan korban dan pelestarian status quo. Di dunia di mana kemiskinan dan krisis kerap buah kebijakan sistemik, LoA menawarkan solusi palsu: seolah-olah mengubah dunia cukup dengan mengubah pikiran.
Berdasarkan serangkaian penjelasan Hashimoto, Law of Attraction (LoA) terbukti bukanlah hukum ilmiah maupun kebijaksanaan spiritual, melainkan sihir modern yang terstruktur rapi. Ia mengubah pikiran menjadi self-prophecy yang menyalahkan korban, memanfaatkan ketidakjelasan waktu (temporal ambiguity) untuk menghindari akuntabilitas, dan berfungsi sebagai ideological fetish yang melanggengkan ketidakadilan dengan mengalihkan fokus masyarakat dari kritik sistem ke obsesi introspeksi diri.
Popularitas LoA, alih-alih membuktikan keampuhannya, justru menyingkap kerentanan manusia terhadap janji keselamatan instan, sebuah ilusi yang menyamarkan status quo sebagai takdir personal, sementara di balik layar, ia mengukuhkan dominasi kapitalisme dan mengorbankan mereka yang paling rentan.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Ilusi Psikologis dan Risiko Law of Attraction (LOA)
Law of Attraction dan Quantum Healing adalah Pseudosains
Ketika Algoritma Disalahartikan sebagai Kekuatan Kosmik: Kekeliruan LoA di TikTok