Ageisme: Hierarki Usia dalam Pusaran Stereotip yang Membelenggu Generasi Muda

Pekerjaan bukan sekadar sarana memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga cerminan martabat atau identitas dan kesempatan untuk berkembang. Namun, di balik semangat mencari nafkah, tersembunyi dinding tak kasatmata yang kerap menghalangi banyak orang: batasan usia dalam lowongan kerja.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia kerap menetapkan syarat usia maksimal yang rendah, seperti 22 hingga 25 tahun untuk posisi staf atau fresh graduate. Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan usia produktif antara 15-64 tahun. Ironisnya, pelamar yang berusia di atas batas ini, meski memiliki kompetensi dan pengalaman memadai, sering kali tersingkir hanya karena tahun kelahiran yang tertera KTP.

Kasus di Indonesia ini hanyalah satu fragmen dari fenomena ageisme yang mengglobal. Tulisan ini akan menguraikan apa itu ageisme, ageisme pada generasi muda, hingga dampaknya.

Pengertian Ageisme, Akar Historis, dan Perkembangannya

Istilah ageisme diperkenalkan oleh Robert N. Butler pada 1969 melalui wawancara dengan The Washington Post. Butler, yang kemudian menulis artikel seminal di The Gerontologist, menjelaskan ageisme sebagai “stereotip sistematis dan diskriminasi terhadap orang karena mereka tua, sebagaimana rasisme dan seksisme dilakukan berdasarkan warna kulit dan gender”. Namun, konsep ini berkembang mencakup segala bentuk marginalisasi berbasis usia, termasuk terhadap generasi muda.

Menurut International Longevity Center dalam “Ageism in America” (2006), ageisme terwujud dalam kebijakan yang membatasi akses pekerjaan, layanan kesehatan, atau partisipasi politik berdasarkan kategori usia. Contohnya, batasan usia minimal untuk jabatan politik di AS (25 tahun untuk DPR, 35 tahun untuk presiden) yang secara implisit mengabaikan potensi kepemimpinan anak muda.

Patricia Brownell dalam tulisannya berjudul “Social issues and social policy response to abuse and neglect of older adults” (2010) menambahkan bahwa cakupan ageisme menjadi penyangkalan hak dasar manusia berdasarkan usia, seperti akses layanan kesehatan, pekerjaan, atau partisipasi politik.

Andrew Achenbaum dalam tulisannya berjudul “Ageism, Past and Present” (2018) menjelaskan bahwa diskriminasi usia bukan fenomena baru, serta memiliki akar sejarah panjang. Misalnya dalam Satire X (sekitar 200 M), penyair Romawi Juvenal menggambarkan masa tua sebagai fase “tanpa gigi, tanpa penglihatan, tanpa selera”.

Pandangan serupa diungkap Shakespeare dalam “As You Like It”, di mana masa tua direduksi menjadi “kekanak-kanakan kedua” yang tak berdaya. Filsuf Seneca bahkan menyebut usia tua sebagai “penyakit”, yang mencerminkan sikap masyakarat yang meminggirkan lansia ketika tak lagi produktif.

Memasuki era industrialisasi, menurut catatan Achenbaum, kebijakan awal seperti “Social Security Act” (1935) Di Amerika Serikat menetapkan usia 65 sebagai batas “tua,” sehingga memperkuat stereotip bahwa lansia adalah kelompok ketergantungan. Kebijakan ini, meski bertujuan melindungi, justru mengkristalkan dikotomi “produktif vs. tidak produktif”.

Sementara itu, pidato kontroversial dokter William Osler pada 1905, The Fixed Period, menyatakan bahwa kontribusi terbesar manusia terjadi sebelum usia 40, dan mereka yang berusia di atas 60 “tidak berguna”. Pernyataan ini memicu debat nasional, namun mencerminkan sikap era industrialisasi yang mengagungkan produktivitas fisik.

Ageisme dan Generasi Muda

Meski lansia menjadi kelompok yang paling sering terdampak, generasi muda tidak luput dari jerat ageisme. Konsep age grading yang dijelaskan Achenbaum terlihat dalam pembatasan hak politik, seperti batasan usia minimal untuk mencalonkan diri di legislatif, atau anggapan bahwa anak muda “kurang matang” untuk mengambil keputusan strategis.

Berikut contoh konkretnya praktik ageisme yang melanda generasi muda:

1. Dunia Kerja: Mitos “Inovasi Hanya Milik Generasi Muda”

Di Indonesia, banyak orang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena batasan usia maksimal yang ditetapkan oleh perusahaan. Sebagaimana disebutkan di muka, posisi fresh graduate sering membatasi usia maksimal 25 tahun, atau bahkan 22 tahun, yang mengabaikan potensi kandidat yang mungkin baru menyelesaikan pendidikan lanjut (S2).

Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana ageisme tidak hanya terkait angka, tetapi juga persepsi tentang “usia ideal” untuk berkarya. Perusahaan sering kali menolak kandidat muda untuk posisi manajerial dengan alasan “kurang pengalaman,” meski mereka memiliki kualifikasi akademis atau keterampilan teknis yang memadai (International Longevity Center, 2006).

2. Politik: Pembatasan Hak Partisipasi

Sistem politik AS menerapkan batasan usia minimal untuk jabatan tertentu: 25 tahun untuk anggota DPR, 30 tahun untuk senator, dan 35 tahun untuk presiden. Kebijakan ini secara implisit mengabaikan potensi kepemimpinan anak muda. Batasan usia ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kapasitas generasi muda dalam mengambil keputusan strategis.

3. Pendidikan: Kuota Usia dan Stigma “Pembelajaran Seumur Hanya untuk Lansia”

Di sektor pendidikan, ageisme muncul dalam bentuk kuota beasiswa yang membatasi penerima berdasarkan usia. Misalnya, program beasiswa untuk “pemuda berbakat” sering kali mengabaikan pelajar dewasa yang ingin kembali ke bangku kuliah.

4. Media: Stereotip “Millennial Malas”

Media kerap menggambarkan generasi muda sebagai “malas” atau “terlalu bergantung pada teknologi.” Istilah “millennial” atau “generasi millennial” sering dikaitkan dengan sifat narsistik dan kurangnya etos kerja.

Dampak Ageisme

Ageisme meninggalkan luka mendalam pada kesehatan fisik, mental, dan prospek masa depan individu, baik lansia maupun generasi muda. Penelitian Becca Levy (2001) yang dikutip Achenbaum mengungkap bahwa lansia yang terpapar stereotip negatif tentang penuaan mengalami penurunan fungsi kognitif lebih cepat dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

Di Indonesia, praktik ini diperparah oleh marginalisasi pekerja berusia di atas 30 tahun ke sektor informal, seperti pedagang kaki lima atau buruh harian, yang minim jaminan kesehatan dan pensiun. Ditambah lagi kondisi ketidakpastian ekonomi memicu stres kronis, memperburuk kondisi kesehatan mereka yang sudah rentan.

Selain itu, marginalisasi ekonomi akibat ageisme juga memperlebar ketimpangan sosial. Pekerja senior yang tersingkir ke sektor informal kehilangan akses jaminan sosial dasar, sementara generasi muda terjebak dalam pekerjaan berupah rendah tanpa kontrak jelas. Di Indonesia, banyak lansia produktif (sesuai definisi BPS) akhirnya bergantung pada keluarga atau bantuan sosial, meningkatkan beban ekonomi rumah tangga.

Secara makro, pengabaian terhadap pekerja senior menghambat transfer pengetahuan antargenerasi, padahal hal tersebut faktor kunci inovasi dan keberlanjutan organisasi (Achenbaum, 2018).

International Longevity Center (2006) dalam Ageism in America menegaskan bahwa siklus diskriminasi ini mempercepat penuaan populasi menjadi tidak produktif, yang pada akhirnya membebani sistem kesehatan dan jaminan sosial.

Dari lansia yang terpaksa menjual aset demi bertahan hidup hingga sarjana muda yang frustasi mengirimkan lamaran kerja, ageisme menggerogoti martabat dan masa depan semua generasi.

Penutup

Ageisme adalah cermin kegagalan sistemik dalam menghargai manusia sebagai entitas yang terus berkembang. Dari lansia yang terpaksa menjual aset demi bertahan hidup hingga sarjana muda yang frustasi mengirimkan lamaran kerja, ageisme menggerogoti martabat dan masa depan semua generasi. Melawannya bukan hanya soal keadilan, tetapi juga menyelamatkan potensi manusia yang terbuang sia-sia. Seperti diingatkan Butler, “Penuaan adalah proses alami; ageisme adalah pilihan yang bisa kita ubah.”

Penulis: Redaksi Insight by Research

Baca Juga:

Apakah Filosofi “Banyak Anak Banyak Rezeki” Masih Relevan? Antara Mitos dan Data

Scroll to Top