Salah satu topik paling abadi dalam tarik ulur antara sains dan pseudosains adalah perdebatan tentang keberadaan benua Atlantis. Dalam imajinasi populer, Atlantis digambarkan sebagai peradaban super maju di masa silam, memiliki teknologi yang bahkan melampaui zaman modern, yang musnah secara tragis oleh bencana dahsyat.
Ia menjadi simbol Zaman Keemasan yang hilang, memicu daya tarik akan misteri dan pengetahuan kuno yang terlupakan.
Tulisan ini akan menguraikan perjalanan gagasan Atlantis berdasarkan kronologis singkat, dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa klaim keberadaan Atlantis sebagai tempat nyata adalah wilayah pseudosains.
Seluruh rujukan dalam tulisan ini bersumber pada keterangan yang diuraikan Brian Regal dalam buku berjudul “Pseudoscience A Critical Encyclopedia” (2009).
Perjalanan gagasan Atlantis bermula dari dua dialog filosofis karya filsuf Yunani kuno, Plato, yaitu “Timaeus” dan “Critias” (sekitar 360 SM). Dalam karya-karya tersebut, Plato memperkenalkan Atlantis bukan sebagai catatan sejarah, melainkan sebagai alegori (kiasan) filosofis.
Dalam dialog tersebut, karakter Critias menceritakan pulau legendaris yang terletak di luar “Pilar Hercules” (Selat Gibraltar), yang digunakan Plato sebagai model untuk menggambarkan negara ideal, terinspirasi oleh pemikiran gurunya, Sokrates.
Meskipun Plato menyebutkan kemungkinan sumber dari catatan Solon, pembuat undang-undang dan penyair dari Athena yang hidup pada abad ke-6 SM. Memang bisa jadi, Solon mendapatkannya dari Mesir, namun, Atlantis pada intinya adalah ciptaan imajinatif Plato untuk menyampaikan argumen filosofis.
Narasi ini kemudian diadopsi oleh penulis-penulis spekulatif era Renaisans dan modern awal. Thomas More menggunakan kerangka legenda ini untuk karyanya “Utopia” (1516), menempatkan pulau fiksinya di Samudra Atlantik dan mempopulerkan istilah “utopia”.
Francis Bacon mengikuti jejaknya dengan novel berjudul “New Atlantis” (1627) dalam menggambarkan masyarakat yang dipimpin oleh akal budi dan sains. Pada tahap ini, Atlantis berfungsi sebagai metafora, bukan klaim geografis.
Titik balik signifikan terjadi pada tahun 1882 dengan terbitnya “Atlantis: The Antediluvian World” karya Ignatius Donnelly. Mantan politikus yang menjadi penulis populis ini mengangkat Atlantis dari ranah alegori menjadi klaim sejarah nyata.
Donnelly mempopulerkan gagasan bahwa Atlantis adalah peradaban yang sangat maju secara teknologi, merupakan asal-usul semua ras dan peradaban manusia, serta memiliki pengetahuan ilmiah yang kini hilang. Buku best seller ini menjadi landasan bagi berkembangnya mitos Atlantis modern, hingga memengaruhi tokoh seperti Edgar Cayce (yang mengaku memiliki visi psikis tentang Atlantis) serta penulis abad ke-20 seperti Immanuel Velikovsky dan Graham Hancock.
Sejak terbitnya karya Donnelly pada 1882, pencarian fisik Atlantis marak dilakukan oleh para peminat. Klaim lokasi muncul secara spekulatif di berbagai belahan dunia, mulai dari wilayah utara seperti Irlandia hingga selatan seperti Antartika.
Beberapa lokasi yang diusulkan bahkan bersifat kontradiktif secara geografis, seperti hipotesis ilmiah tentang Santorini (Thera) di Mediterania versus klaim pseudosains ekstrem yang menempatkannya di Laut Cina Selatan.
Fenomena ini juga memicu ‘penemuan’ artefak palsu, seperti formasi batuan di lepas pantai Bahama pada 1968, yang awalnya dianggap bukti Atlantis tetapi oleh ahli geologi dinyatakan sebagai formasi alami.
Tren klaim hiperbolis mencapai puncaknya pada karya seperti “Atlantis: The Lost Continent Finally Found” (2005) oleh Arysio Nunes dos Santos, yang bahkan menyatukan Atlantis, Taman Eden, dan Troy dalam satu lokasi di Laut Cina Selatan.

Klaim bahwa Atlantis adalah peradaban fisik nyata yang hilang termasuk dalam ranah pseudosains karena beberapa alasan krusial, sebagaimana diuraikan dalam Regal. Pertama, klaim ini mengabaikan konteks asli Plato yang bersifat filosofis dan alegoris. Plato menciptakan Atlantis sebagai alat retoris, bukan sebagai catatan sejarah faktual.
Kedua, klaim tersebut menambahkan banyak atribut yang sama sekali tidak ada dalam sumber asli Plato. Gagasan tentang teknologi super canggih, Atlantis sebagai “ibu” semua peradaban, dan pengetahuan ilmiah yang hilang adalah kreasi Donnelly dan penerusnya, bukan Plato.
Ketiga, metode yang digunakan para “pemburu Atlantis” modern meniru trappings (penampakan luar) sains, seperti mengutip geologi, biologi kelautan, atau inti bor laut dalam, tetapi bersifat selektif, tidak tunduk pada peer review ilmiah yang ketat, dan sering kali mengabaikan penjelasan alamiah yang lebih sederhana (seperti kasus Bimini Road yang terbukti formasi geologi alami).
Keempat, tidak ada satu pun bukti arkeologis yang dapat diverifikasi dan diterima secara luas oleh komunitas ilmiah yang mengonfirmasi keberadaan Atlantis. Lokasi yang diklaim pun saling bertentangan dan mencakup hampir seluruh dunia.
Kelima, klaim-klaim tersebut sering kali terkait dengan narasi besar “sejarah tersembunyi” atau “peradaban yang dihilangkan” yang merupakan ciri khas pemikiran pseudosaintifik, seperti keterkaitannya dengan mitos Mu atau Lemuria oleh kalangan okultis akhir abad ke-19 (mitos yang meyakini bahwa benua hilang sebagai tempat asal peradaban manusia dan sistem pengetahuan kuno).
Berdasarkan jejak historis yang diuraikan, kesimpulannya jelas: Atlantis tidak pernah ada sebagai tempat fisik atau peradaban nyata dalam sejarah manusia. Ia adalah konstruksi fiksi filosofis yang brilian dari Plato.
Daya tariknya yang bertahan lama sebagai legenda berbicara lebih banyak tentang imajinasi manusia, kerinduan akan Zaman Keemasan yang hilang, atau keinginan untuk menemukan asal-usul misterius, daripada tentang realitas historis.
Transformasinya menjadi subjek pencarian fisik dan klaim pseudosains, yang dipicu terutama oleh Ignatius Donnelly, merupakan penyimpangan dari niat asli Plato. Upaya untuk “membuktikan” keberadaan Atlantis terus berlanjut, namun semuanya terbukti rapuh di hadapan metode ilmiah dan ketiadaan bukti arkeologis yang solid.
Jadi, meskipun mitos Atlantis tetap memikat sebagai cerita, klaim bahwa ia pernah menjadi bagian nyata dari dunia kita adalah bagian dari dunia pseudosains, sebuah pencarian yang, seperti banyak pencarian serupa, mungkin lebih banyak mencerminkan sang pencari daripada obyek yang dicarinya.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Membongkar Misteri Segitiga Bermuda sebagai Pseudosains
Manusia di Bawah Bayang Piring Terbang: Narasi Penculikan Alien dan Pencarian Kebenaran
Teori Bumi Datar: Pseudosains yang Berakar pada Konflik Sains dan Agama