Cognitive Science of Religion (CSR): Menelusuri Sejarah dan Perkembangannya dalam Memahami Agama

Selama ini, agama kerap dikaji melalui kacamata semiotika yang membedah simbol-simbol sakral atau pendekatan antropologis yang mengeksplorasi makna spiritual individu serta perannya dalam membangun kesatuan sosial.

Namun, Cognitive Science of Religion (CSR) menawarkan cara baru dengan menggeser cara kita melihat agama: agama tidak hanya dipandang sebagai hasil budaya atau sistem makna, melainkan sebagai “fenomena alam” (seperti objek ilmu eksak) yang lahir dari mekanisme kognitif yang berlaku umum bagi setiap manusia.

Pendekatan CSR, dengan sudut pandang ilmu biologi, menantang pemahaman tradisional dengan mengaitkan praktik keagamaan (mulai dari ritual hingga kepercayaan akan yang transenden) sebagai proses biologis, evolusi, dan neurologis yang melekat dalam kodrat manusia.

Tulisan ini memaparkan perkembangan singkat Cognitive Science of Religion, sebuah pendekatan yang bukan hanya mengajak kita memahami agama sebagai produk alamiah dari pikiran manusia, tetapi juga mengajak kita merefleksikan ulang batas antara yang “sakral” dan yang “ilmiah”.

Akar Pemikiran Cognitive Science of Religion

Cognitive Science of Religion (CSR) muncul sebagai bidang penelitian interdisipliner pada awal 1990-an. Cognitive Science of Religion bertujuan untuk menjelaskan fenomena keagamaan melalui pendekatan kognitif dan evolusioner.

Menurut Pyysiäinen (2014), dalam tulisannya berjudul “The Cognitive Science of Religion” (salah satu chapter dalam buku “Evolution, Religion, and Cognitive Science Critical and Constructive Essays”), akar CSR dapat ditelusuri dari karya E. Thomas Lawson dan Robert McCauley dalam “Rethinking Religion” (1990) serta Pascal Boyer dalam “The Naturalness of Religious Ideas” (1994).

Lawson dan McCauley memperkenalkan analisis struktural terhadap ritual agama. Mereka menyebut konsep “agen khusus”, yakni ritual yang melibatkan dewa atau kekuatan supernatural yang dianggap sebagai pusat sentral. Misalnya, dalam pembaptisan, Tuhan dianggap sebagai agen yang memberikan berkat secara langsung. Ritual jenis ini diyakini hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup (layaknya dalam pernikahan atau pemakaman), namun memiliki efek permanen dalam diri manusia.  

Hal ini berbeda dengan ritual di mana manusia sebagai pusat sentral, seperti persembahan makanan kepada arwah, seingga harus diulang berkali-kali karena dianggap tidak memiliki efek abadi. Analoginya mirip dengan perbedaan antara “mantra sakti” yang cukup diucapkan sekali untuk selamanya dan “ritual harian” seperti menyapu lantai yang perlu dilakukan terus-menerus sehingga menjadi praktik.

Sementara itu, Pascal Boyer menekankan bahwa konsep religius mudah diingat dan menyebar karena sifatnya yang “minimally counterintuitive. Istilah ini merujuk pada gagasan yang melanggar sebagian kecil dari intuisi manusia, tetapi tidak sepenuhnya absurd. Misalnya, dewa tanpa tubuh (bodiless spirit) tetap dipersepsikan sebagai “agen” yang bertindak. Kepercayaan ini pada dasarnya melanggar intuisi kita bahwa manusia harus memiliki fisik, tetapi tetap mempertahankan sifat dasar manusia yang menjalankan peran agensi (seperti memiliki keinginan atau kemampuan berkomunikasi).

Contoh lain adalah pohon keramat yang “mendengar” doa. Meskipun pohon tidak memiliki telinga, konsep ini hanya melibatkan satu pelanggaran intuisi (transfer sifat manusia ke objek yang sama-sama bisa mendengar), sehingga mudah diingat. Bandingkan dengan konsep seperti “batu terbang yang bisa berbicara dalam 10 bahasa”, terlalu banyak pelanggaran intuisi, sehingga sulit dipahami atau diterima sebagai keyakinan.

Perkembangan CSR juga dipengaruhi oleh kritik Dan Sperber terhadap pendekatan simbolis dalam antropologi. Sperber, dalam bukunya “Rethinking Symbolism” (1975/1995), menolak anggapan bahwa simbol agama memiliki makna tetap. Menurutnya, simbolisme tidak seperti kode rahasia yang punya arti pasti, melainkan lebih mirip petunjuk yang memicu pencarian makna yang sudah tertanam di benak setiap orang. Proses ini disebut evokasi, di mana otak secara otomatis menghubungkan simbol baru dengan pengetahuan yang sudah ada.

Misalnya, salib dalam Kristen. Bagi sebagian orang, salib mungkin mengingatkan pada pengorbanan Yesus, sementara bagi yang lain, ia bisa jadi simbol harapan atau identitas budaya. Tidak ada yang bisa mengklain makna paling “benar” yang melekat pada salib itu sendiri, pemaknaannya tergantung pengalaman dan latar belakang individu.

Sperber kemudian mengembangkan model “epidemiologi kepercayaan” (1985) untuk menjelaskan mengapa gagasan religius tertentu lebih mudah menyebar. Analoginya seperti virus: beberapa ide lebih “menular” karena cocok dengan cara kerja otak. Konsep dewa yang campuran manusia dan supernatural, seperti dewa berkepala gajah (Ganesha) dalam Hindu, lebih mudah diterima daripada konsep abstrak seperti “Tuhan sebagai energi kosmik”.

Mengapa demikian? Menurut Aku Visala dalam “Philosophical Foundations of Cognitive Science of Religion” (salah satu chapter dalam buku “The Oxford Handbook of The Cognitive Science of Religion”) karena otak manusia sudah memiliki “alat” bawaan untuk memahami agen (misalnya, theory of mind, kemampuan menebak pikiran orang lain) dan deteksi pola. Ganesha, meski bagian sebagian yang lain dianggap aneh, tetap dipahami sebagai agen yang bertindak, sementara “energi kosmik” terlalu abstrak untuk diproses dalam pikiran manusia.

Dengan pendekatan ini, CSR menegaskan bahwa kepercayaan apapun yang lahir dari agama bukanlah hal unik atau memiliki jenis sendiri (sui generis), melainkan hasil sampingan (by product) dari mekanisme cara kerja otak manusia sehari-hari.

Lain kata, agama adalah produk sekunder yang dihasilkan dari pembuatan atau perpaduan dari produk lain, yakni cara kerja otak manusia dan evolusi kognitif untuk mendeteksi keberadaan agensi. Contohnya, ketika kita mendengar suara aneh di malam hari, otak langsung berpikir, “Ada orang!” (deteksi agensi), mekanisme yang sama membuat kita mudah percaya pada hantu atau roh penunggu.

Perkembangan Cognitive Science of Religion 2000-an

Pada dekade 2000-an, Cognitive Science of Religion mengalami perkembangan signifikan dengan mengintegrasikan psikologi evolusioner dan neurosains, sehingga menghasilkan wawasan baru tentang bagaimana otak manusia memproses konsep religius.

Salah satu temuan penting datang dari Justin Barrett melalui eksperimennya mengungkap kontradiksi menarik antara konsep teologis dan persepsi intuitif. Meskipun Tuhan secara doktrin dianggap Maha Mengetahui, dalam situasi spontan, seperti berdoa, orang cenderung membayangkan-Nya memiliki keterbatasan layaknya manusia. Misalnya, banyak yang membayangkan Tuhan “menyelesaikan” satu permintaan sebelum beralih ke doa berikutnya, meski secara teori Ia diyakini mampu mendengar semua doa sekaligus.

Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, fenomena ini terjadi karena otak manusia mengandalkan sistem intuitif (theory of mind), yakni kemampuan alami untuk memahami niat orang lain, yang secara tidak sadar membatasi cara kita memproses hal-hal yang abstrak. Layaknya membayangkan presiden harus antre mengurus keluhan warga satu per satu, padahal logikanya ia bisa dibantu oleh staf.

Di sisi lain, riset Jesse Bering tentang kepercayaan kehidupan setelah mati mengungkap bahwa manusia cenderung memproyeksikan kesadaran bahkan setelah kematian. Contohnya, banyak orang merasa “berkomunikasi” dengan anggota keluarga yang telah meninggal saat mengalami kesedihan. Menurut Bering, kecenderungan ini terkait dengan kebutuhan evolusioner untuk memprediksi dan menjaga hubungan sosial.

Otak manusia berevolusi untuk terus “melacak” niat dan emosi orang lain, bahkan yang sudah tiada, sebagai strategi bertahan hidup dalam kelompok. Layaknya keinginan untuk tetap mengirim pesan ke seorang kekasih yang telah memblokir nomornya, meski tahu pesan tersebut tidak terbaca.

Selain itu, penelitian Ara Norenzayan tentang “dewa besar” (seperti Tuhan monoteis) menunjukkan bagaimana kepercayaan pada pengawasan supernatural meningkatkan kohesi sosial dalam masyarakat kompleks. Misalnya, dalam perdagangan tradisional, orang cenderung jujur jika percaya dewa menghukum penipu, efek yang mirip dengan kamera pengawas di toko modern. Norenzayan berargumen bahwa agama monoteis berkembang pesat karena kemampuannya menciptakan kepercayaan antaranggota kelompok yang tidak saling kenal, menjadi “polisi tak kasat mata” yang mendorong kerja sama.

Dengan menggabungkan studi otak, evolusi, dan budaya, CSR tidak hanya menjelaskan mengapa agama bertahan, tetapi juga menegaskan ulang bahwa konsep religius adalah produk sampingan dari cara kerja alami pikiran manusia. Dari deteksi agensi yang hiperaktif hingga kebutuhan akan keteraturan sosial, mekanisme kognitif ini membentuk keyakinan yang kompleks namun mudah disebarluaskan dan diterima secara umum, sebuah bukti bahwa agama bukan sekadar doktrin, tetapi cermin dari desain evolusioner otak kita.

Keterangan di atas senada dengan penjelasan Launonen (2018) dalam analisisnya melalui tulisannya berjudul “The Naturalness of Religion: What It Means and Why It Matters”. Launonen menjelaskan tentang naturalness of religion mengidentifikasi empat dimensi agama menurut CSR. Pertama, ontologis, di mana agama bukan fenomena supernatural. Kedua, metodologis, yakni dapat dijelaskan secara ilmiah.

Ketiga, lintas budaya (universalitas agama), dan terakhir kognitif, yakni kesesuaian dengan struktur mental manusia. Menurut Launonen, CSR terutama fokus pada naturalness kognitif, yakni kecenderungan otak manusia untuk lebih mudah menerima konsep religius karena kesesuaiannya dengan sistem intuisi, seperti Hyperactive Agency Detection Device (HADD), yakni mekanisme deteksi agensi yang hiperaktif, dan kemampuan mental (Theory of Mind/ToM).

Memang masih muncul perdebatan, seperti diidentifikasi oleh Visala (2018), apakah agama merupakan adaptasi evolusi atau sekadar produk sampingan. Tokoh seperti Boyer (2001) dan Pyysiäinen (2008) berargumen bahwa konsep religius bertahan karena “kewajaran kognitif” (cognitive naturalness), yakni kesesuaiannya dengan sistem intuisi manusia. Misalnya, HADD, kecenderungan manusia melihat “tujuan” di balik peristiwa acak, seperti menganggap gemuruh petir sebagai kemarahan dewa, yang menjadi dasar penerimaan gagasan supernatural.

Namun, ilmuwan lain seperti Dominic Johnson (2015) menambahkan bahwa kepercayaan pada hukuman ilahi mungkin meningkatkan kerja sama kelompok, sehingga memberi nilai adaptif (Visala, 2018). Artinya, agama tidak hanya soal mekanisme kerja otak, namun juga berevolusi seturut dengan kebutuhan budaya.

Meski demikian, CSR umumnya sepakat bahwa agama tidak memiliki modul kognitif khusus, melainkan memanfaatkan mekanisme mental yang sudah ada, seperti kemampuan mengenali wajah atau memahami niat orang lain.

Pada 2010-an, CSR semakin matang sebagai bidang multidisiplin. Robert McCauley (2011) memperkenalkan “pluralisme eksplanatoris,” yang menekankan analisis fenomena religius pada berbagai level, dari mekanisme neural hingga dinamika budaya. Misalnya, ritual keagamaan dapat dipelajari melalui respons otak terhadap musik sakral sekaligus fungsi sosialnya dalam membangun identitas kelompok (Visala, 2018).

Perkembangan terbaru mencakup pendekatan mekanistik yang menggabungkan faktor kognitif, emosional, dan sosial. Asprem dan Taves (2018) mencontohkan bahwa keyakinan religius bisa dipahami sebagai interaksi antara memori, rasa kagum, dan tekanan kelompok (Visala, 2018).

Launonen (2018) juga menyoroti implikasi CSR terhadap teologi, khususnya konsep sensus divinitatis (indra ketuhanan) dalam pemikiran Calvin dan Plantinga. Keduanya berargumen bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk mengenali Tuhan, yang sejalan dengan temuan CSR tentang kemudahan manusia mempercayai agen supernatural. Namun, CSR juga mengungkap bahwa konsep ketuhanan yang berkembang seringkali antropomorfik, bertentangan dengan klaim teologis abstrak, seperti kemahatahuan Tuhan yang “dibatasi” oleh intuisi kognitif (Barrett, 2012).

Penutup

Hari ini, CSR terus berkembang melalui penelitian yang terus dijalankan. Visala (2011) mencatat tantangan ke depan, seperti pengujian hipotesis kognitif dalam konteks budaya spesifik dan integrasi data laboratorium dengan etnografi. Namun, yang jelas, CSR telah menggeser paradigma studi agama dari pendekatan hermeneutis (penafsiran makna) ke analisis kausal-empiris.

Dengan menggabungkan antropologi, psikologi, dan neurosains, CSR tidak hanya menantang batasan tradisional dalam studi agama, tetapi juga membuka wawasan baru tentang bagaimana pikiran manusia membentuk, dan dibentuk oleh, dunia religius.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Scroll to Top