Echo Chamber dalam Pemilu 2024 di Indonesia

Tulisan sebelumnya telah menjelaskan konsep echo chamber sebagai ruang isolasi virtual di mana individu hanya berinteraksi dengan pandangan yang menguatkan keyakinan mereka, meminimalkan paparan terhadap perspektif berbeda, begitu juga dampaknya terhadap polarisasi pandangan politik.

Esai ini akan menguraikan praktik echo chamber dalam konteks Pemilu Presiden Indonesia 2024 berdasarkan riset Wihardja, Muhtadi, dan Lee dalam laporan berjudul “Disinformation and Election Propaganda: Impact on Voter Perceptions and Behaviours in Indonesia’s 2024 Presidential Election” (2025).

Sekadar mengingatkan, menurut Ghafouri dan para koleganya dalam tulisan berjudul “Transformer-Based Quantification of the Echo Chamber Effect in Online Communities” (2024), echo chamber terdiri dari dua komponen utama: Chamber (komunitas diskusi yang terbentuk melalui interaksi seperti retweet atau grup media sosial) dan Echo (tingkat homogenitas opini di dalamnya).

Semakin tinggi keseragaman sikap pengguna (homogeneity), semakin kental efek ruang gema. Fenomena ini diperparah oleh algoritma platform yang menyaring konten sesuai preferensi pengguna.

Dalam Pemilu 2024, segmentasi media berbasis dukungan politik menjadi fondasi echo chamber. Wihardja et al. (2025) menemukan pola penggunaan platform berbeda di antara pendukung paslon.

Pendukung Ganjar-Mahfud, misalnya, secara signifikan lebih jarang memakai TikTok dan YouTube ketimbang pendukung Anies-Muhaimin atau Prabowo-Gibran. Kandidat tersebut juga memiliki penetrasi internet terendah (67%) dibandingkan kelompok lain (73–78%), sehingga lebih mengandalkan sumber tradisional seperti televisi dan percakapan langsung.

Padahal, pemilih muda (15–24 tahun) menjadikan TikTok sebagai sumber utama berita Pemilu, diikuti WhatsApp dan Instagram. Segmentasi ini menciptakan “ruang diskusi” (chamber) yang terisolasi sesuai afiliasi politik.

Selective belief (kepercayaan selektif) menjadi inti penguatan echo chamber. Loyalis Paslon cenderung hanya menerima narasi yang selaras dengan keyakinan awal mereka, sekalipun itu disinformasi. Misalnya, pendukung Anies-Muhaimin lebih mungkin percaya narasi nepotisme di Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan Gibran, sementara pendukung Prabowo-Gibran menolaknya.

Sebaliknya, mereka lebih skeptis terhadap isu korupsi yang menjerat Anies. Pola ini menunjukkan confirmation bias, di mana informasi yang bertentangan dengan identitas politik diabaikan atau ditolak. Studi ini membuktikan bahwa exposure (paparan) terhadap disinformasi saja tidak cukup untuk mengubah pilihan loyalis, yang menentukan adalah kesediaan menerima narasi tersebut (belief).

Algoritma dan desain platform media sosial mempercepat pembentukan echo chamber. Meskipun televisi dan WhatsApp menjadi sumber berita utama, platform seperti TikTok dan Instagram mendominasi di kalangan pemilih muda.

Namun, tingkat kepercayaan terhadap media sosial justru rendah. Responden menganggap platform ini rentan hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah, sekumpulan faktor yang meningkatkan ketergantungan pada ruang diskusi “aman” yang homogen.

Selain itu, strategi kampanye berbasis influencer dan konten AI (seperti deepfake Prabowo berpidato bahasa Arab) memanfaatkan algoritma untuk menyasar kelompok spesifik. Meski deepfake berkualitas rendah mudah terdeteksi (60–75% responden menyadari kepalsuannya), minoritas signifikan tetap mempercayainya, menunjukkan kerentanan dalam ruang gema tertutup.

Polarisasi ideologis di Pemilu 2024 ternyata terbatas. Meski echo chamber teridentifikasi, polarisasi absolut tidak terjadi. Wihardja et al. (2025) mencatat bahwa pemilih Indonesia tidak sepenuhnya terfragmentasi dalam kelompok oposisi biner. Hal ini terlihat dari sejumlah faktor.

Pertama, kepercayaan tertinggi tetap diberikan pada sumber media seperti televisi dan percakapan langsung, bukan platform partisan. Kedua, meski chamber (kluster retweet/konten) pro dan anti suatu isu ada, interaksi lintas kelompok masih terjadi.

Misalnya, debat televisi justru meningkatkan persepsi positif terhadap semua kandidat, meski dengan tingkat berbeda. Ketiga, identitas nasional (Bhinneka Tunggal Ika) berperan sebagai peredam polarisasi ekstrem, berbeda dengan pola di AS yang dikaji Ghafouri et al. (2024).

Dengan demikian, echo chamber dalam Pemilu 2024 dimediasi oleh segmentasi platform, diperkuat oleh selective belief, dan dimanipulasi melalui algoritma, namun dibatasi oleh ketahanan literasi digital parsial dan kohesi sosial berbasis identitas nasional.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Scroll to Top