Hipnoterapi telah meraih popularitas sebagai terapi alternatif yang dianggap mampu menyembuhkan beragam masalah kesehatan, mulai dari gangguan pencernaan hingga trauma psikologis. Namun, di balik daya tariknya, muncul pertanyaan: apakah hipnoterapi benar-benar memiliki dasar ilmiah atau sekadar pseudosains yang dibungkus dalam retorika persuasif?
Miranda dan para koleganya dalam jurnal terbaru berjudul “Hypnotherapy as a medical treatment: Evidence-based or pseudoscience?” memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Para peneliti melakukan tinjauan sistematis terhadap puluhan studi terdahulu, termasuk 15 ulasan sistematis dan meta-analisis terbaru (2019–2023).
Penelitian tersebut pada bagian awal menjelaskan perbedaan antara dua wajah hipnoterapi: yang pseudosains dan yang berbasis bukti. Praktik pseudosains, seperti klaim mengungkap tentang “memori represif” (kenangan traumatis yang dianggap tersembunyi di alam bawah sadar) atau “trauma kehidupan masa lalu”, berakar pada teori usang Freudian tentang alam bawah sadar.
Klaim ini tidak hanya tidak terbukti secara empiris, tetapi juga berbahaya. Studi Patihis dan Pendergrast (2019) yang dikutip dalam jurnal tersebut mengungkapkan bahwa 93% “memori” yang ditemukan selama sesi hipnoterapi adalah palsu, hasil dari sugesti tidak sengaja oleh terapis atau kepercayaan pasien yang mudah dipengaruhi.
Lebih mengkhawatirkan, 40% pasien yang “mengingat” trauma tersebut kemudian memutus hubungan dengan keluarga atau mengubah dinamika hubungan personal, akibat percaya bahwa mereka pernah dilecehkan atau dikhianati oleh orang terdekat. Kasus ekstrem bahkan melibatkan tuduhan kriminal palsu, di mana beberapa orang dipenjara bertahun-tahun karena “kenangan” yang dihasilkan dari hipnoterapi (Watt, 2017).
Sementara itu, hipnoterapi berbasis ilmu pengetahuan menggunakan mekanisme yang terukur, seperti perubahan fokus perhatian dan modulasi aktivitas otak. Neuroimaging fMRI. pemindai otak yang mengukur aktivitas berdasarkan perubahan aliran darah, mengungkap bahwa sugesti hipnotis mengurangi aktivitas di Korteks cingulate anterior (ACC), yakni area otak yang terkait dengan persepsi nyeri emosional, sehingga efektif meredakan gejala fisik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas hipnoterapi sangat bervariasi tergantung kondisi yang ditangani. Bukti terkuat datang dari pengobatan Irritable Bowel Syndrome (IBS), gangguan pencernaan kronis yang ditandai nyeri perut dan perubahan kebiasaan buang air besar. Meta-analisis oleh Black (2020) menunjukkan bahwa 85% pasien IBS mengalami perbaikan gejala jangka panjang setelah mengikuti protokol terstruktur seperti Manchester Protocol (panduan hipnoterapi khusus untuk IBS yang dikembangkan di Inggris) dan North Carolina Protocol (metode serupa yang dikembangkan di AS).
Efek ini bertahan hingga lima tahun, diduga karena pasien mempelajari keterampilan regulasi emosi dan kognitif yang berkelanjutan. Selain IBS, hipnoterapi juga efektif untuk nyeri kronis, dengan RCT pada 530 pasien menunjukkan penurunan nyeri hingga 42% pada individu yang mudah tersugesti (Langlois dkk., 2022).
Uraian Miranda dan para koleganya juga mengungkap dalam konteks kesehatan mental, hipnoterapi menunjukkan potensi untuk mengelola gejala kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Meta-analisis 17 RCT oleh Valentine dkk. (2019) menyimpulkan bahwa hipnoterapi menghasilkan efek signifikan dalam mengurangi kecemasan, termasuk kecemasan dental dan kecemasan pra-operasi pada pasien kanker.
Studi lain pada pasien kanker menemukan bahwa hipnoterapi mengurangi kecemasan pra-bedah dan nyeri pascaoperasi (Franch dkk., 2023). Untuk depresi, meskipun bukti masih terbatas, penelitian Milling dkk. (2019) melaporkan penurunan gejala depresi pada pasien yang menerima hipnoterapi, terutama ketika dikombinasikan dengan terapi kognitif-perilaku (CBT). Sementara itu, dalam kasus PTSD, hipnoterapi digunakan untuk membantu pasien memproses trauma melalui sugesti yang mengarah pada relaksasi dan reinterpretasi memori traumatis (O’Toole dkk., 2016).
Mekanisme kognitif dan emosional menjadi kunci kerja hipnoterapi. Proses ini melibatkan modulasi perhatian, di mana pasien diajak fokus pada sugesti positif sambil mengurangi respons terhadap rangsangan negatif. Studi neuroimaging menunjukkan bahwa hipnoterapi mengurangi aktivitas di amigdala (area otak terkait rasa takut) dan meningkatkan konektivitas di korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas regulasi emosi (Jensen dkk., 2014; Bicego dkk., 2022).
Namun, mekanisme ini tidak bekerja untuk semua kondisi. Pada kecanduan nikotin atau nyeri persalinan, faktor fisiologis yang kompleks membuat hipnoterapi kurang efektif (Barnes dkk., 2019; Madden dkk., 2016).
Klaim berlebihan dan risiko pseudosains tetap menjadi ancaman serius. Miranda dan para koleganya memperingatkan bahwa praktik hipnoterapi yang mengklaim dapat “meningkatkan kepercayaan diri”, “mengubah kepribadian”, atau “membuat seseorang lebih hebat” tidak memiliki dasar ilmiah.
Klaim semacam ini sering kali berasal dari praktisi tanpa lisensi yang memanfaatkan ekspektasi publik. Di AS dan Inggris, gelar “hipnoterapis” tidak dilindungi hukum, sehingga siapa pun bisa membuka praktik tanpa pelatihan medis, sebuah fenomena yang meningkatkan risiko penyalahgunaan.
Implikasi dari temuan ini: hipnoterapi bukanlah “solusi ajaib”, melainkan alat terapi yang keabsahannya bergantung pada bukti dan penerapan yang tepat. Organisasi seperti American College of Gastroenterology (perhimpunan dokter spesialis pencernaan AS) telah merekomendasikannya untuk IBS, sementara praktik pseudosains seperti regresi kehidupan lampau (klaim mengakses trauma masa lalu melalui hipnosis) justru perlu dihindari.
Integrasi dengan praktik medis berbasis bukti menjadi kunci, sehingga hipnoterapi harus dipandang sebagai pelengkap, bukan pengganti, terapi konvensional.
Penelitian ini menggarisbawahi perlunya regulasi ketat dan pendidikan publik. Masyarakat perlu memahami bahwa hipnoterapi efektif hanya untuk kondisi spesifik, dengan mekanisme yang terukur, dan harus dilakukan oleh praktisi berlisensi.
Mitos tentang “kekuatan magis” hipnoterapi harus dihapus agar tidak menutupi potensi ilmiahnya yang nyata. Dengan pendekatan ini, hipnoterapi dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebutuhan pasien, bukan ilusi yang menyesatkan.
Penulis: Redaksi Insight by Research