Hyperactive Agency Detection Device (HADD): Evolusi yang Membuat Manusia Meyakini Hantu, Dewa, dan Konspirasi

Manusia secara alami cenderung mencari pola dan makna di balik peristiwa acak, seperti mengaitkan petir dengan kemarahan dewa atau menganggap bayangan sebagai hantu. Kecenderungan tersebut dalam ilmu kognitif agama (cognitive science of religion) disebut hyperactive agency detection, di mana konsep ini menjadi akar banyak kepercayaan religius.

Konsep Hyperactive Agency Detection Device (HADD) menjelaskan fenomena ini sebagai mekanisme kognitif bawaan yang membuat manusia terlalu mudah mendeteksi keberadaan “agen”, entitas hidup atau makhluk sadar, bahkan ketika tidak ada bukti nyata sekalipun.

Tulisan ini akan membahas singkat siapa pencetus HADD, bagaimana mekanisme kerjanya, serta perannya dalam membentuk kepercayaan religius.

Hyperactive Agency Detection Device (HADD): Mengapa Manusia Selalu Melihat ‘Agen’ di Balik Peristiwa?

Gagasan HADD pertama kali diusulkan oleh antropolog Stewart Guthrie dalam bukunya “Faces in the Clouds” (1993). Guthrie berpendapat bahwa manusia berevolusi untuk “memanusiakan” alam (anthropomorphism), yakni melihat niat atau kesadaran di balik fenomena alam. Misalnya, suara gemerisik di hutan mungkin dianggap sebagai gerakan hewan predator.

Kecenderungan ini telah lama dilakukan oleh nenek moyang manusia. Menurut Guthrie, kecenderungan ini adalah strategi bertahan hidup: lebih baik salah mendeteksi agen (misalnya, mengira ada harimau) daripada gagal mendeteksi ancaman nyata, yang bisa berakibat fatal.

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh ilmuwan kognitif Justin Barrett dalam “Why Would Anyone Believe in God?” (2004). Barrett menggambarkan HADD seperti “alarm asap” yang terlalu sensitif, sistem ini mudah aktif meski hanya ada sedikit “asap” (misalnya, suara aneh atau gerakan tak terduga).

Contoh sederhana: ketika seseorang mendengar suara di kegelapan, otak langsung memicu respons “lawan atau lari” dan membuatnya berpikir, “Ada makhluk di situ!” Meski 90% kasus mungkin hanya angin, sebuah evolusi dalam peradaban manusia yang memprioritaskan kehati-hatian untuk bertahan hidup.

HADD tidak hanya menjelaskan deteksi ancaman fisik, tetapi juga menjadi dasar kepercayaan pada entitas supernatural. Misalnya, manusia purba mungkin mengaitkan gempa bumi dengan dewa yang marah atau penyakit dengan roh jahat. Pyysiäinen (2014) dalam tulisannya berjudul “The Cognitive Science of Religion” menjelaskan bahwa HADD memicu “pencarian makna” yang akhirnya diisi oleh narasi religius.

Namun, HADD saja tidak cukup. Pascal Boyer menambahkan bahwa konsep religius yang bertahan biasanya bersifat minimally counterintuitive, yakni memiliki satu sifat yang melanggar intuisi (misalnya, hantu yang bisa menembus tembok), tetapi sisanya sesuai dengan kategori mental manusia (hantu tetap dianggap sebagai “agen” dengan keinginan). Kombinasi antara HADD dan konsep “aneh tapi familiar” inilah yang membuat kepercayaan religius mudah diingat dan tersebar.

Pada akhirnya, HADD adalah produk sampingan (by product) evolusi yang dirancang untuk melindungi manusia dari ancaman. Mekanisme ini mungkin sering menghasilkan “kesalahan deteksi,” seperti kepercayaan pada dewa atau roh, tetapi dalam konteks evolusi, kesalahan itu lebih aman daripada mengabaikan bahaya nyata. Dengan memahami HADD, kita melihat agama bukan sebagai ilusi, tetapi sebagai respons alami otak manusia yang terus mencari pola dan agen di balik kompleksitas dunia.

Mekanisme HADD sebagai Penyebab Kepercayaan pada Hantu, Dewa, dan Teori Konspirasi

Mekanisme Hyperactive Agency Detection Device (HADD) dapat dipergunakan sebagai landasan untuk bukan hanya menjelaskan kepercayaan pada dewa atau roh, tetapi juga menjadi dasar munculnya keyakinan pada hantu, teori konspirasi, dan narasi supernatural lainnya.

Dalam kasus kepercayaan pada hantu, HADD bekerja dengan mengaitkan fenomena tak terjelaskan, seperti suara aneh, benda bergerak sendiri, atau perasaan “kehadiran” tak kasatmata, dengan keberadaan agen sadar. Misalnya, bayangan di sudut ruangan mungkin diinterpretasikan sebagai “hantu” karena otak secara otomatis mencari pola yang mirip dengan gerakan atau niat manusia.

Untuk kepercayaan pada dewa, HADD berperan dalam mengaitkan peristiwa besar (seperti gempa bumi, kekeringan, atau kesuburan panen) dengan agen yang lebih kuat. Misalnya, masyarakat kuno mungkin menganggap kemarahan dewa sebagai penyebab bencana alam. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Pyysiäinen menjelaskan bahwa HADD memicu “pencarian makna” yang diisi oleh konsep dewa, entitas yang memiliki kemampuan super (mahatahu atau mengontrol alam) tetapi tetap memiliki sifat manusiawi (seperti marah atau berbelas kasih). Konsep ini memenuhi kebutuhan kognitif manusia untuk menjelaskan kompleksitas dunia melalui agen yang dapat dipahami.

Sementara itu, teori konspirasi dapat dipahami sebagai manifestasi modern dari HADD. Mekanisme yang sama yang membuat manusia purba curiga pada roh jahat, kini mendorong individu untuk melihat “tangan tersembunyi” di balik peristiwa sosial-politik yang rumit. Misalnya, pandemi global atau krisis ekonomi mungkin dianggap sebagai hasil rekayasa kelompok elit.

Pada akhirnya, HADD adalah mekanisme kognitif yang, meski berevolusi untuk bertahan hidup, juga menjadi akar kepercayaan pada entitas supernatural dan narasi yang tidak terbukti. Seperti alarm asap yang terlalu sensitif, HADD terus “berbunyi” bahkan ketika hanya ada asap imajinasi, menjadikan manusia sebagai makhluk yang secara alami mudah percaya pada hantu, dewa, atau “agen” tersembunyi di balik setiap kejadian.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Scroll to Top