Law of Attraction (LOA) atau “hukum tarik-menarik” telah menjadi doktrin global, yang dipopulerkan oleh buku “The Secret” (2006) karya Rhonda Byrne. LOA menjanjikan bahwa pikiran positif dapat “menarik” kesuksesan, kekayaan, atau kebahagiaan. Konsep ini semakin viral di era digital, dengan video TikTok bertagar #manifestation ditonton lebih dari 34,6 miliar kali pada 2023.
Namun, di balik klaim ajaibnya, muncul pertanyaan: apakah LOA benar-benar bekerja, atau hanya ilusi yang dibangun oleh industri kesuksesan dan kebahagiaan?
Seperti banyak diketahui, LOA dapat dipahami sebagai sebuah keyakinan bahwa pikiran, emosi positif, dan tindakan simbolis (seperti menulis afirmasi atau berpura-pura sudah sukses) dapat menarik hasil yang diinginkan melalui “kekuatan kosmik” atau kolaborasi dengan alam semesta.
Gagasan ini berakar pada gerakan spiritual New Thought abad ke-19 yang menekankan penyembuhan penyakit melalui visualisasi positif, lalu diadaptasi ke ranah bisnis oleh tokoh seperti Napoleon Hill dalam bukunya berjudul “Think and Grow Rich” dan Norman Vincent Peale melalui “The Power of Positive Thinking”. Di era modern, LOA dipasarkan melalui buku, seminar, dan konten media sosial yang menjanjikan kesuksesan instan, sering kali tanpa dasar ilmiah.
Untuk menguji validitas LOA, Dixon, Hornsey, dan Hartley (2025) melakukan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulletin berjudul “The Secret to Success? The Psychology of Belief in Manifestation“. Dixon dan koleganya melakukan tiga studi empiris dengan total 1.023 partisipan. Penelitian ini mengembangkan Manifestation Scale, alat ukur psikometrik untuk menilai keyakinan pada manifestasi, dan mengeksplorasi hubungannya dengan motivasi, pengambilan keputusan, serta hasil kehidupan nyata.
Hasil penelitian mengungkap beberapa temuan penting. Pertama, sekitar 35% partisipan secara signifikan mempercayai manifestasi, dengan skor tertinggi pada subskala personal power (keyakinan bahwa pikiran positif dan visualisasi dapat menarik kesuksesan). Namun, tidak ada hubungan antara keyakinan ini dengan keberhasilan objektif yang diukur dengan pendapatan, tingkat pendidikan, atau status ekonomi.
Misalnya, dalam Studi 1 dalam penelitian tersebut, skor Manifestation Scale tidak berkorelasi dengan penghasilan tahunan atau latar belakang pendidikan partisipan. Artinya, meskipun “manifesters” merasa lebih sukses secara subjektif, mereka tidak lebih makmur atau berpendidikan daripada non-manifesters. Hal ini menunjukkan bahwa LOA hanya menciptakan ilusi keberhasilan, bukan hasil nyata.
Kedua, manifesters cenderung mengambil keputusan berisiko. Dalam Studi 3, partisipan dengan skor manifestasi tinggi 1,33 kali lebih mungkin berinvestasi dalam kripto dan 1,42 kali lebih mungkin pernah mengalami kebangkrutan. Mereka juga 1,28 kali lebih rentan menjadi korban penipuan finansial. Temuan ini konsisten dengan karakteristik pengikut LOA yang berpegang pada magical thinking, keyakinan irasional bahwa pikiran dapat mengontrol hasil fisik, yang membuat manifesters mengabaikan analisis risiko rasional.
Ketiga, manifesters menunjukkan overoptimisme yang berbahaya. Dalam skenario keberhasilan tidak realistis (misalnya, menghasilkan $300.000/tahun dengan 100.000 pengikut), mereka meyakini tujuan ini bisa tercapai dalam waktu lebih singkat (rata-rata 15 tahun dipersepsikan sebagai 1–5 tahun). Keyakinan ini didukung oleh skor tinggi pada get-rich-quick belief, yang membuat mereka rentan terhadap skema “sukses instan” yang tidak berdasar.
Penelitian ini sangat berharga untuk membuktikan bahwa LOA bukan jalan ajaib menuju kesuksesan, melainkan strategi motivasional yang berisiko. Pertama, overoptimisme dapat mendorong seseorang mengabaikan perencanaan finansial rasional.
Kedua, kegagalan sering kali disalahartikan sebagai “kurangnya keyakinan” atau “getaran energi tidak selaras”, alih-alih dikaitkan dengan faktor struktural seperti ketimpangan ekonomi atau kurangnya keterampilan. Dalam jurnal ini, manifesters yang bangkrut mungkin terus menyalahkan diri sendiri alih-alih mengevaluasi strategi bisnis.
Ketiga, industri kesuksesan mengeksploitasi keyakinan ini untuk keuntungan finansial. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa manifesters 1,75 kali lebih mungkin mengonsumsi produk tokoh seperti Rhonda Byrne atau Tony Robbins, meskipun klaim mereka tidak didukung bukti ilmiah. Industri ini menjual harapan kosong, sementara manifesters terjebak dalam siklus membeli buku, seminar, atau kursus mahal yang tidak menjamin hasil.

Akhirnya, penelitian Dixon et al. (2025) mengonfirmasi bahwa LOA lebih dekat dengan magical thinking daripada strategi sukses yang nyata. Keyakinan ini memang meningkatkan optimisme dan aspirasi, tetapi juga mengaburkan batas antara harapan dan realitas. Kesuksesan sejati memerlukan lebih dari sekadar pikiran positif, ia butuh kerja keras, perencanaan strategis, dan kesadaran akan batasan sistemik. Hal ini membenarkan keterangan Shermer (2008) dalam “The Mind of the Market: How Biology and Psychology Shape Our Economic Lives”, LOA adalah bentuk magical thinking yang mengabaikan logika dan tanggung jawab kolektif. Seperti ditulis Dixon et al. (2025), “Manifestation belief could cause life trajectories to be altered by decisions made on the basis of such beliefs” keputusan berdasarkan ilusi, bukan fakta.
Penulis: Redaksi Insight by Research