Ketika Algoritma Disalahartikan sebagai Kekuatan Kosmik: Kekeliruan LoA di TikTok

Fenomena media sosial, khususnya TikTok, telah mengukuhkan ilusi Law of Attraction (LoA) atau Hukum Tarik-Menarik dalam budaya populer. Platform ini tidak sekadar jadi alat promosi, melainkan algoritmanya dianggap sebagai “bukti empiris” kebenaran LoA: seolah-olah membuktikan bahwa “getaran” pikiran manusia bisa menarik realitas melalui mekanisme kosmik.

Tulisan ini menguraikan tulisan kritis dari Eric Chalfant berjudul “I don’t chase, I attract: TikTok, new thought, and the algorithms of divination” (2025), yang membedah kesalahan persepsi dalam menyamakan logika New Thought abad ke-19 (cikal bakal LoA) dengan budaya algoritma digital.

Chalfant menunjukkan bahwa pengguna TikTok sering menganggap interaksi mereka dengan algoritma sebagai validasi LoA. Misalnya, ketika video afirmasi seperti “I don’t chase, I attract” muncul di feed tanpa dicari, ini diyakini sebagai bukti bahwa “getaran positif” pikiran mereka “menarik” konten relevan dari semesta.

Bahkan tindakan teknis seperti menyimpan video ke draft, yang secara teknis hanya menyimpan data lokal, dipersonifikasikan sebagai ritual magis: pengguna percaya ini “mengirim sinyal” ke algoritma (yang dianggap perwujudan “kekuatan semesta”) tentang keinginan mereka.

Fenomena ini berakar pada tradisi New Thought (gerakan spiritual di Amerika Serikat abad ke-19), seperti kebiasaan menulis keinginan rahasia di kertas. Fitur duet atau penggunaan sound viral pun dianggap sebagai upaya “menyetel frekuensi getaran” diri agar algoritma “merespons”.

Padahal, algoritma hanya merekam perilaku digital objektif, seperti durasi menonton, pola scroll, interaksi (like/share), riwayat pencarian, dan metadata lain, lalu mengubahnya menjadi prediksi statistik. Proses mekanis ini, dalam narasi LoA, diromantisasi menjadi dialog mistis antara pikiran dan “semesta yang hidup”.

Jurnal ini membantah tegas kesetaraan semu antara algoritma dan “hukum semesta” LoA melalui lima argumen. Pertama, algoritma TikTok adalah mesin deterministik berbasis kode, bukan entitas metafisik. Ia bekerja melalui machine learning yang menganalisis pola data historis, bukan “membaca getaran pikiran”.

Konsep “pikiran menarik realitas” dalam LoA merupakan proyeksi budaya abad ke-19 ketika teknologi seperti telegraf memicu analogi keliru antara “gelombang pikiran” dan gelombang elektromagnetik. Analogi ini tidak relevan untuk algoritma abad ke-21 yang hanya memproses input digital terukur.

Kedua, klaim bahwa algoritma “mewujudkan keinginan” adalah ilusi kognitif. Ketika pengguna (seperti studi kasus @a_kileyism) mengaku mendapat tawaran kerja setelah memviralkan video afirmasi, itu contoh confirmation bias. Algoritma tidak menciptakan lowongan; ia hanya merekomendasikan konten karir karena pengguna sering menontonnya, ini murni korelasi data, bukan sebab-akibat magis.

Ketiga, logika homofili (like attracts like) dalam algoritma bersifat matematis, bukan filosofis. Algoritma menghubungkan pengguna dengan konten serupa karena terbukti meningkatkan engagement, bukan karena “hukum semesta” menyatukan energi sejenis.

Keempat, ketidaktransparanan algoritma (black box) sengaja dimanfaatkan narasi LoA untuk menciptakan aura mistis. Hal ini adalah konsekuensi desain teknis (proprietary code, kompleksitas ML), bukan bukti dimensi spiritual.

Kelima, dan paling krusial, algoritma justru aktif membentuk keinginan pengguna lewat filter bubbles dan kurasi konten, bertolak belakang dengan klaim LoA bahwa manusia “menciptakan realitasnya sendiri”. Seperti ditegaskan Chalfant, “algorithms are agents of artificially intelligent divination”: mesin peramal, bukan dewa pengabul doa.

Simpulannya, algoritma TikTok adalah produk rekayasa data berlogika matematika dan kode komputer, bukan “hukum getaran semesta” ala LoA. Menyamakan keduanya adalah kekeliruan epistemologis yang mengaburkan realitas teknologi. Hal ini mirip penyalahgunaan fisika kuantum sebagai “pembenaran” pseudosains LoA, di mana fenomena partikel subatomik secara keliru dianggap mengatur psikologi manusia.

Narasi algoritma-TikTok-sebagai-LoA adalah category error yang sama: algoritma berjalan di server berbasis silikon, bukan di “medan energi kosmik”. Memahami batasannya, seperti diurai Chalfant, menjadi tameng kritis melawan ilusi yang mengubah rekayasa data menjadi mitos metafisik.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Baca Juga:

Ilusi Psikologis dan Risiko Law of Attraction (LOA)

Law of Attraction dan Quantum Healing adalah Pseudosains

Scroll to Top