Konsep Law of Attraction (Hukum Tarik-Menarik) dan Quantum Healing (Penyembuhan Kuantum) telah meresap ke dalam budaya populer dengan daya pikat yang sulit diabaikan. Buku “The Secret” karya Rhonda Byrne (2006), yang terjual lebih dari 30 juta eksemplar, menjadi tonggak utama dalam mempopulerkan gagasan bahwa pikiran manusia mampu “menarik” kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan melalui “hukum kosmik” yang tak terlihat.
Dalam penelitian Dixon et al. (2025) berjudul “The Secret to Success? The Psychology of Belief in Manifestation” ditemukan bahwa 35% partisipan meyakini konsep manifestasi, dengan keyakinan bahwa visualisasi dan afirmasi positif dapat mengubah nasib. Fenomena ini semakin menguat di era digital, di mana konten bertagar #manifestation di TikTok telah ditonton 34,6 miliar kali (per Mei 2023).
Tokoh seperti Deepak Chopra turut memperkuat narasi ini dengan menggabungkan terminologi fisika kuantum, seperti “energi,” “frekuensi,” dan “vibrasi”, ke dalam klaim penyembuhan menyeluruh bagi setiap seseorang, yang menciptakan ilusi bahwa sains modern mendukung gagasan mistis ini.
Namun, klaim-klaim tersebut tidak lebih dari contoh klasik pseudosains (pseudoscience). Apa itu pseudosains, mengapa Law of Attraction dan Quantum Healing adalah pseudosains, serta apa efeknya?
Pseudosains
Akar sejarah pseudosains dapat ditelusuri ke abad ke-19, ketika istilah ini muncul seiring perkembangan sains modern. Pada masa itu, upaya membedakan sains murni dari klaim semu semakin gencar, terutama sebagai respons terhadap maraknya praktik seperti frenologi (yang mempelajari hubungan antara karakter seseorang dengan bentuk tengkoraknya) dan spiritualisme.
Di era post-truth saat ini, kerentanan terhadap pseudosains semakin meningkat. Kemudahan akses informasi yang tidak disertai literasi sains memungkinkan klaim pseudosaintifik menyebar cepat melalui media, bahkan kadang diterima sebagai “fakta alternatif”.
Schmaltz & Lilienfeld (2014) dalam tulisannya berjudul “Hauntings, homeopathy, and the Hopkinsville Goblins: using pseudoscience to teach scientific thinking” menjelaskan bahwa pseudosains sebagai klaim yang meniru struktur sains tetapi gagal memenuhi kriteria metodologi ilmiah, seperti ketiadaan bukti empiris yang kuat, ketergantungan pada anekdot, dan ketidakmampuan untuk difalsifikasi (proses pembuktian bahwa suatu pernyataan, teori, atau ide tidak valid atau salah).
Schmaltz & Lilienfeld (2014) lebih lanjut menjelaskan berbagai karakter dari pseudosains. Pertama, penggunaan psychobabble, istilah ilmiah yang disalahartikan atau dipelesetkan untuk menciptakan kesan kredibilitas. Kedua, klaim luar biasa yang tidak sebanding dengan bukti yang ada.
Ketiga, ketiadaan koneksi dengan bagian dari pengetahuan ilmiah yang mapan. Contohnya termasuk astrologi, homeopati, dan kreasionisme, yang meski menggunakan bahasa teknis atau terkesan ilmiah, tidak melalui proses peer-review atau eksperimen replikatif.
Mengapa Law of Attraction dan Quantum Healing Termasuk Pseudosains?
Law of Attraction dan Quantum Healing adalah pseudosains. Mengapa? Pertama, kedua konsep ini mengandalkan penyalagunaan terminologi ilmiah. Quantum healing, misalnya, mengklaim bahwa “medan energi kuantum” dalam tubuh manusia dapat dimanipulasi melalui pikiran untuk menyembuhkan penyakit.
Padahal, mekanika kuantum, cabang fisika yang mempelajari partikel subatomik, tidak memiliki hubungan dengan proses biologis atau psikologis. Schmaltz & Lilienfeld (2014) menegaskan bahwa penggunaan istilah “kuantum” dalam konteks ini adalah bentuk psychobabble yang sengaja dimanipulasi untuk mengeksploitasi ketidaktahuan publik.
Kedua, klaim ini bergantung pada bukti anekdot, bukan data empiris. “The Secret”, buku yang mempopulerkan Law of Attraction, dipenuhi testimoni individu yang mengaku menjadi kaya setelah “memvisualisasikan kekayaan,” namun tidak ada studi terkontrol yang membuktikan kausalitas langsung antara pikiran positif dan keberhasilan materi.
Dixon (2023) menemukan bahwa keyakinan manifestasi sering kali dikaitkan dengan positive thought-action fusion (kecenderungan untuk melebih-lebihkan pengaruh pikiran terhadap realitas) yang bersifat subjektif dan rentan terhadap bias kognitif. Misalnya, partisipan yang percaya manifestasi cenderung mengaitkan keberhasilan acak dengan “kekuatan pikiran,” sementara mengabaikan faktor struktural seperti akses pendidikan atau jaringan sosial.
Ketiga, klaim ini tidak dapat difalsifikasi. Jika seseorang gagal mencapai tujuannya, penganut Law of Attraction akan menyalahkan “pikiran negatif” atau “ketidaktulusan,” alih-alih mengakui kelemahan teori tersebut. Strategi ini, menurut Schmaltz & Lilienfeld (2014), adalah taktik khas pseudosains untuk menghindari pertanggungjawaban ilmiah. Contoh lain adalah situs QuantumMAN yang menawarkan “obat digital” untuk menyembuhkan malaria melalui “transfer energi kuantum ke otak.” Klaim ini tidak hanya tidak terbukti, tetapi juga mustahil diuji secara ilmiah karena tidak merujuk pada mekanisme yang dapat diobservasi.
Keempat, tidak adanya koneksi dengan penelitian ilmiah. Meskipun Quantum Healing mengutip konsep seperti “memori air” dari homeopati, tidak ada bukti bahwa air dapat menyimpan informasi biologis atau memengaruhi kesehatan.
Schmaltz & Lilienfeld (2014) menyebutkan bahwa meta-analisis terhadap ratusan studi homeopati gagal menunjukkan efektivitas di luar sekadar plasebo. Demikian pula, klaim bahwa “pikiran menciptakan realitas” bertentangan dengan prinsip dasar fisika dan neurosains, yang menegaskan bahwa otak memproses informasi secara biologis, bukan melalui “frekuensi kosmik.”
Dampak pseudosains
Dampak pseudosains ini tidak bisa dianggap sepele. Penelitian Dixon mengungkap bahwa penganut manifestasi 1,42 kali lebih mungkin mengalami kebangkrutan dan 1,33 kali lebih mungkin berinvestasi dalam aset berisiko seperti kripto. Keyakinan pada “kesuksesan instan” juga meningkatkan kerentanan terhadap penipuan get-rich-quick, seperti skema piramida atau pelatihan mahal yang menjanjikan kekayaan tanpa usaha.
Lebih berbahaya lagi, Quantum Healing dapat menggiring individu untuk menolak pengobatan medis. Misalnya, penderita kanker mungkin mengabaikan kemoterapi karena percaya visualisasi dapat menyembuhkan, sebuah pola yang diamati dalam studi kasus Aspinwall & Tedeschi (2010) yang dikutip Dixon et al. (2025).
Di tingkat makro, pseudosains mengikis literasi sains dan memperkuat misinformasi. Schmaltz & Lilienfeld (2014) menjelaskan bahwa paparan terhadap klaim pseudosains tanpa bantahan yang jelas dapat memicu backfire effect, di mana masyarakat justru semakin yakin pada informasi yang salah.
Penutup
Mengatasi pseudosains memerlukan pendekatan edukatif yang proaktif. Schmaltz & Lilienfeld (2014) merekomendasikan integrasi contoh pseudosains, seperti Law of Attraction atau kisah Hopkinsville Goblins, ke dalam kurikulum sains untuk melatih siswa mengidentifikasi ciri-ciri klaim palsu.
Studi Dixon et al. (2025) juga menunjukkan bahwa paparan terhadap penjelasan ilmiah yang disertai debunking efektif mengurangi keyakinan pada manifestasi, asalkan dilakukan dengan menghindari sikap sinis.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga