Musik selalu menjadi penanda zaman yang hidup, bernafas bersama generasi yang mendengarnya. Dari dentuman drum The Beatles di tahun 60-an hingga alunan “Synthesizer” BTS di era modern, setiap generasi memiliki suara khasnya sendiri. Tulisan ini menguraikan bagaimana perbedaan selera musik mengandung cara yang unik dalam memproses emosi melalui musik, sebuah dialektika antara kenangan masa lalu dan ekspresi kekinian.
Revolusi Teknologi
Perjalanan teknologi musik telah menciptakan lanskap budaya mendengar yang berbeda antar generasi. Louro dan Panda dalam penelitian berjudul “Back in my day: a preliminary study on the differences in generational groups perception of musically-evoked emotion” (2023) menemukan bahwa Millennial (kelahiran 1981-1996) mengalami masa transisi penting dari era analog ke digital.
Mereka adalah generasi terakhir yang mengoleksi kaset dan CD, sekaligus generasi pertama yang mengenal MP3 dan iTunes. Pengalaman ini membentuk ikatan emosional yang khusus dengan musik fisik.
Sebaliknya, Gen Z (kelahiran 1997-2012) adalah generasi digital native yang lahir ketika Spotify dan YouTube sudah menjadi bagian dari hidup. Penelitian menunjukkan bahwa 85% Gen Z mengakses musik melalui platform streaming, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dibanding Millennial. Cara berinteraksi yang berbeda ini menciptakan perbedaan mendasar dalam hubungan dengan musik. Gen Z cenderung mengonsumsi musik sebagai bagian dari lifestyle digital mereka, sementara Millennial memandang musik sebagai koleksi yang bernilai personal.
Peta Emosi Antragenerasi
Perbedaan yang lebih dalam terlihat dalam cara generasi-generasi ini memaknai emosi dalam musik. Louro dan Panda (2023) menggunakan Russell’s Circumplex Model untuk memetakan respons emosional terhadap berbagai lagu.
Ketika diperdengarkan “Un-Break My Heart” (Toni Braxton), 100% partisipan Millennial mengidentifikasikannya sebagai lagu yang “mendalam dan bersifat nostalgia”, sementara Gen Z menyebutnya “sedih tapi kurang relate“. Sebaliknya, lagu “Bitch” (Meredith Brooks) dianggap “biasa saja” oleh Millennial, tapi bagi Gen Z lagu ini adalah “penyemangat dan penguat mental”.
Perbedaan ini tidak terjadi secara kebetulan. Analisis lirik menunjukkan bahwa 78% lagu populer era Millennial mengandung tema penderitaan cinta (love suffering), sementara 65% lagu Gen Z bertemakan pemberdayaan diri (self-empowerment).
“Kami tumbuh dengan pesan untuk tetap kuat menghadapi tekanan dunia digital,” jelas seorang partisipan Gen Z. Sementara partisipan Millennial berkomentar, “Lagu sedih itu seperti terapi, mengingatkan kita bahwa patah hati adalah bagian dari hidup.”
Paradoks Emosi dalam Nada
Fenomena paling menarik dalam penelitian ini adalah apa yang disebut Louro dan Panda (2023) sebagai “paradoks emosi negatif”. Sebanyak 83% partisipan Millennial melaporkan mengalami perasaan positif ketika mendengarkan lagu-lagu sedih. “Mendengar ‘All By Myself’ (Céline Dion) itu seperti bertemu teman lama, sakit di awal, tapi akhirnya melegakan,” ungkap salah seorang responden.
Penelitian Hennessy et al. (2025) memberikan penjelasan neurosains untuk fenomena ini. Pemindaian otak menunjukkan bahwa musik nostalgia mengaktifkan dua area sekaligus: amygdala yang memproses emosi negatif dan ventral tegmental area (VTA) sebagai pusat reward.
Aktivasi ganda ini menciptakan pengalaman katarsis unik dimana emosi negatif justru memberikan kepuasan psikologis. Yang lebih menarik, efek ini 40% lebih kuat pada partisipan berusia di atas 60 tahun, menunjukkan bahwa semakin panjang rentang hidup seseorang, semakin dalam makna emosi yang bisa diekstrak dari musik.
Penutup: Simfoni Peradaban yang Terus Berlanjut
Dalam tarian waktu yang tak berhenti, musik tetap menjadi bahasa universal yang mampu menembus batas generasi. Millennial mungkin berpegang pada kenangan yang terukir dalam chord-chord rock tahun 90-an, sementara Gen Z menari mengikuti irama pop elektrik yang terus berevolusi. Namun keduanya berpandangan sama bahwa musik adalah medium untuk memahami dan mengekspresikan emosi terdalam manusia.
Seperti yang ditunjukkan oleh berbagai penelitian yang telah disebutkan dalam penelitian ini, perbedaan generasi dalam memaknai musik sebenarnya adalah cerita tentang keberlanjutan peradaban. Dari piringan hitam hingga streaming digital, dari lagu cinta yang patah hingga kebanggaan diri, musik terus menjadi cermin zamannya, sekaligus jembatan yang menghubungkan generasi demi generasi.
Dalam setiap nada dan liriknya, tersimpan cerita tentang menjadi manusia di era masing-masing, dengan segala kerumitan dan keindahannya.
Dan mungkin, inilah keajaiban musik yang sebenarnya: kemampuannya untuk sekaligus menjadi sangat personal sekaligus universal, sangat spesifik pada suatu zaman namun mampu menyentuh hati manusia dari segala zaman. Seperti kata salah satu partisipan penelitian Louro dan Panda (2023): “Musik mengajari kita bahwa emosi manusia itu abadi, hanya kemasannya yang berubah seiring waktu.”
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Mengapa Generasi Tua Sering Memandang Rendah Perempuan Pecinta K-Pop?
Ageisme: Hierarki Usia dalam Pusaran Stereotip yang Membelenggu Generasi Muda