Keyakinan terhadap Segitiga Bermuda sebagai wilayah laut berbahaya penuh misteri di Samudra Atlantik telah memikat imajinasi publik selama puluhan tahun. Kisah kapal dan pesawat yang lenyap tanpa jejak, disertai pesan radio aneh di tengah cuaca tenang, menjadi bahan bakar bagi buku-buku laris dan film-film populer.
Esai ini akan menguraikan secara ringkas bagaimana kepercayaan ini bermula dari artikel majalah ternama, dipopulerkan oleh penulis tertentu, dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Segitiga Bermuda hanyalah sebuah contoh klasik pseudosains, di mana keyakinan yang disajikan seolah-olah ilmiah namun tidak memenuhi standar metode ilmiah.
Pemaparan dalam esai ini bersumber dari dua tulisan. Pertama, karya Brian Regal dalam bukunya berjudul “Pseudoscience: A Critical Encyclopedia” (2009) karya Brian Regal. Kedua, Maarten Brys dalam chapter “Bermuda Triangle” yang dimuat dalam buku “The Skeptic Encyclopedia of Pseudoscience” (2002).
Secara kronologis, berdasarkan data yang bisa ditelusuri, menurut Regal, minat pada Segitiga Bermuda mulai muncul setidaknya sejak tahun 1950-an melalui majalah-majalah populer seperti Fate. Pada tahun 1960-an, istilah “Deadly Triangle” mulai digunakan.
Tonggak penting terjadi pada tahun 1964 ketika Vincent Gaddis menerbitkan artikel berjudul “The Deadly Bermuda Triangle” di majalah Argosy. Artikel inilah yang pertama kali secara luas menggunakan istilah “Bermuda Triangle” dan mempopulerkan kisah tragis Flight 19, sebuah skuadron pesawat pembom torpedo Angkatan Laut AS yang hilang pada tahun 1945.
Namun, puncak ketenaran Segitiga Bermuda baru terjadi pada tahun 1970-an, didorong secara signifikan oleh buku laris Charles Berlitz, “The Bermuda Triangle: An Incredible Saga of Unexplained Disappearances” (1974), yang mengumpulkan berbagai insiden dan menyimpulkan adanya sesuatu yang misterius di wilayah tersebut. Berlitz, seorang ahli bahasa dengan minat pada hal-hal tidak biasa, dikritik karena dianggap mengabaikan penjelasan alami dan lebih memilih spekulasi.
Periode ini juga mencatat munculnya istilah yang lebih sensasional seperti “Devil’s Triangle”. Popularitas buku Berlitz, seperti ditunjukkan Brys, menjadikan Segitiga Bermuda sebagai fenomena budaya global, dengan jutaan eksemplar terjual. Namun, popularitas ini juga menarik perhatian para skeptis yang mulai memeriksa klaim-klaimnya lebih teliti.
Segitiga Bermuda merupakan contoh telak pseudosains, sebagaimana ditunjukkan oleh analisis kritis terhadap klaim-klaim pendukungnya dan metode yang digunakan. Argumen utama bahwa wilayah ini berbahaya secara statistik langsung dipatahkan. Baik Regal maupun Brys mencatat bahwa lembaga asuransi laut ternama Lloyd’s of London tidak mengenakan premi lebih tinggi untuk kapal yang melintasi Segitiga Bermuda.
Demikian pula, Penjaga Pantai Amerika Serikat tidak menemukan bukti statistik yang menunjukkan tingkat kehilangan kapal atau pesawat yang tidak biasa di wilayah itu dibandingkan dengan rute laut sibuk lainnya di dunia.
Kasus-kasus yang diangkat sebagai “misteri” pun tidak luput dari pemeriksaan ulang. Kasus Flight 19, yang sering digambarkan sebagai hilang di cuaca cerah oleh pilot berpengalaman dengan pesan radio membingungkan, terbukti penuh distorsi.
Kedua sumber mengungkapkan bahwa penerbangan itu terjadi dalam cuaca buruk, dipimpin oleh Letnan Charles Taylor yang diketahui memiliki riwayat kesulitan navigasi dan pernah terdampar dua kali sebelumnya akibat kesalahan navigasi, bukan oleh pilot “ahli” seperti yang sering diklaim.
Penjelasan protokol umum seperti kesalahan navigasi, kehabisan bahan bakar, cuaca buruk, dan kesalahan mekanis jauh lebih sesuai dengan fakta yang ada. Kesalahan metodologis penulis pendukung seperti Berlitz dan Allan Eckert (penulis artikel “Flight 19” tahun 1964) sangat mencolok.
Lawrence Kusche, dalam bukunya “The Bermuda Triangle Mystery-Solved” (1975) yang diakui sebagai karya klasik penelitian skeptis, secara sistematis membongkar klaim-klaim ini. Kusche memeriksa catatan resmi angkatan laut, mewawancarai saksi, dan bahkan menerbangi rute Flight 19 sendiri.
Dia menemukan bahwa pendukung mitos sering kali melakukan penelitian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, mengabaikan catatan resmi (seperti laporan cuaca aktual), tidak mewawancarai saksi kunci, bahkan dituduh oleh Kusche memalsukan bukti atau sengaja mendistorsi fakta (seperti mengubah kapal tidak layak laut yang karam dalam badai menjadi kapal “tidak bisa tenggelam” yang lenyap di laut tenang).
Brys secara khusus menyoroti bagaimana cerita-cerita ini “diperbesar” dari satu buku ke buku lain, dengan setiap penulis menambahkan “detail-detail menarik” yang semakin menjauhkan narasi dari fakta sebenarnya.
Berbagai teori penjelasan supernatural yang diajukan, seperti UFO, USO (Unidentified Submerged Objects), anomali magnetik, “kabut listrik”, pusaran astral, atau pengaruh Atlantis, tidak memiliki dasar bukti empiris yang kuat dan muncul terutama karena ketidakmampuan atau keengganan untuk menerima penjelasan alami yang tersedia.
Kesimpulannya, perjalanan keyakinan terhadap Segitiga Bermuda dari sensasi media menjadi contoh pseudosains yang terpapar dengan baik merupakan pelajaran berharga.
Fenomena ini berdiri bukan sebagai misteri laut yang tak terpecahkan, melainkan sebagai monumen terhadap bagaimana cerita yang tidak akurat, diperkuat oleh media dan imajinasi populer, dapat menciptakan mitos modern yang bertahan lama, meskipun telah dibantah secara tuntas oleh penelitian kritis dan data objektif.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Manusia di Bawah Bayang Piring Terbang: Narasi Penculikan Alien dan Pencarian Kebenaran
Dari Borley Rectory ke Lawang Sewu: Pemburuan Hantu sebagai Hiburan Global dan LokalTeori Bumi Datar: Pseudosains yang Berakar pada Konflik Sains dan Agama