Setiap Maret, Sustainable Development Solutions Network, jaringan inisiatif PBB, merilis World Happiness Report (WHR), yang memeringkat kebahagiaan 147 negara berbasis metode ilmiah. Pada 2025, Finlandia kembali menempati peringkat pertama dengan skor tertinggi sebesar 7.736.
Ini adalah kali kedelapan sejak tahun 2018 Finlandia menduduki peringkat puncak sebagai negara paling bahagia di dunia. Dibawah Finlandia, terdapat Denmark, Islandia, Swedia, Belanda, Kosta Rika, Norwegia, Israel, Luksemburg, dan Meksiko.
Hal tersebut menunjukkan dominasi negara-negara Skandinavia yang sering menterang dalam daftar peringkat World Happiness Report. Indonesia sendiri berada di peringkat 83 dengan skor 5.617, di bawah Filipina (peringkat 57) namun di atas Aljazair (84).
Pertanyaannya, sebenarnya bagaimana World Happiness Report mengukur kebahagiaan? Mengapa negara Nordik seperti Finlandia konsisten unggul?
Tulisan ini secara khusus membahas metodologi ilmiah WHR dan rahasia Finlandia, sekaligus membantah mitos populer bahwa “kebahagiaan adalah urusan individual yang sederhana”, kebahagiaan itu susah dan membutuhkan kerjasama sosial.
Cara World Happiness Report Mengukur Kebahagiaan Negara
WHR mendefinisikan kebahagiaan sebagai konsep terukur melalui tiga dimensi. Pertama, Evaluasi Hidup (Life Evaluation) yang Diukur dengan Cantril Ladder (skala 0–10). Responden menjawab pertanyaan seperti: “Bayangkan tangga dengan anak tangga 0 (hidup terburuk) hingga 10 (terbaik). Di mana posisi hidup Anda?”. Data ini menjadi dasar peringkat negara.
Kedua, frekuensi emosi positif seperti tawa dan kesenangan sehari sebelumnya. Ketiga, frekuensi emosi negatif seperti kekhawatiran atau kesedihan. Data dikumpulkan lewat Gallup World Poll (2022–2024), survei representatif dengan 1.000 responden per negara per tahun.
Namun WHR tak berhenti pada deskripsi. Untuk mengungkap penyebab kebahagiaan, para peneliti menganalisis enam variabel utama yang memengaruhi kebahagiaan:
- PDB per kapita (disesuaikan daya beli)
- Dukungan sosial (“Adakah yang bisa diandalkan saat kesulitan?”)
- Harapan hidup sehat (diambil dari data WHO)
- Kebebasan memilih hidup (“Apakah Anda puas dengan kebebasan menentukan hidup?”)
- Kedermawanan (donasi amal, disesuaikan PDB)
- Persepsi korupsi (pemerintah & bisnis).
Melalui analisis regresi linier multivariat, WHR menghitung kontribusi relatif setiap faktor. Misalnya, peningkatan dukungan sosial setara dengan kenaikan 2.686 poin pada skala Cantril, yang mengungkap dampak terbesar di antara semua variabel.
Untuk visualisasi, WHR menciptakan “Dystopia”, negara hipotetis dengan nilai terendah seluruh variabel. Skor tiap negara lalu dibandingkan dengan Dystopia sehingga kontribusi tiap faktor terlihat transparan. Hasilnya, keenam variabel menjelaskan 76.1% variasi kebahagiaan global, sekaligus membuktikan kebahagiaan bukanlah misteri subjektif melainkan fenomena terukur.
Mengapa Finlandia Paling Bahagia?
Sekurang-kurangnya, terdapat tiga hal yang dicatat oleh World Happiness Report (2025) dalam laporannya tersebut terkait Finlandia. Pertama, Finlandia unggul dalam kepercayaan sosial (benevolence). Eksperimen WHR menunjukkan bahwa 81% dompet yang “terjatuh” di jalan dikembalikan di Finlandia, jauh di atas rata-rata global (47%).
Menariknya masyarakat Finlandia justru pesimis terhadap kebaikan orang lain. Mereka meragukan dompetnya akan kembali, meski kenyataannya hampir selalu kembali! Data WHR membuktikan keyakinan bahwa “orang asing akan mengembalikan dompet saya” meningkatkan kebahagiaan dua kali lipat lebih besar daripada kenaikan pendapatan.
Kedua, negara berperan sebagai penjaga kesetaraan kebahagiaan. Sistem kesejahteraan universal Finlandia (kesehatan dan pendidikan gratis, jaminan sosial) menciptakan jaring pengaman psikologis. WHR 2025 mengungkap: di negara seperti ini, kelompok rentan (penganggur, penyandang sakit kronis) mengalami penurunan kebahagiaan lebih kecil saat menghadapi masalah.
Penyebabnya adalah keyakinan bahwa institusi sosial akan menolong. Efeknya, ketimpangan kebahagiaan domestik Finlandia rendah, berbeda dari tren global yang naik 25% dalam 20 tahun.
Ketiga, Finlandia mempresentasikan paradoks Nordik. Peringkat rendah dalam “membantu orang asing” (urutan 96 dari 147), namun peringkat tinggi dalam “pengembalian dompet” (urutan 1). WHR menjelaskan masyarakat Nordik tidak memerlukan kedermawanan terorganisir karena negara telah menjamin kebutuhan dasar. Interaksi sosial mereka bersifat otentik dan non-transaksional, lahir dari kepercayaan alami, bukan keterpaksaan.
Membongkar Mitos “Bahagia Itu Sederhana”
Di media sosial, kita kerap melihat narasi: “Bahagia itu sederhana: makan soto sendiri”. Dari apa yang telah dikemukakan, setidaknya WHR membantah klaim ini melalui dua bukti.
Pertama, kebahagiaan populasi, bukan kesenangan pribadi, bersifat sosial dan politik. Apa yang disebut “bahagia” dalam “makan soto” sebenarnya adalah kesenangan sesaat (hedonic pleasure), bagian dari emosi positif dalam WHR. Namun ini berbeda dari evaluasi hidup jangka panjang.
Contohnya: seseorang bisa senang makan soto hari ini, tapi tetap menilai hidupnya buruk (skor Cantril rendah) karena tak punya dukungan saat dipecat atau sakit. Data WHR menegaskan: 76.1% variasi kebahagiaan global ditentukan faktor sosial-politik.
Dukungan sosial memberi dampak 2.686 poin pada kebahagiaan, yang setara dengan efek gabungan pendapatan tinggi dan harapan hidup panjang. Artinya, kebahagiaan membutuhkan infrastruktur sosial (orang saling percaya) dan infrastruktur politik (negara menjamin kesehatan dan komitmen memerangi korupsi).
Kedua, kebahagiaan bisa diukur dengan bukti universal. Indikator WHR dirancang untuk relevan secara lintas budaya. Ambil contoh “tingkat pengembalian dompet” di Finlandia. Siapa pun, di Jakarta, Kairo, atau Madrid, akan lebih bahagia jika dompet hilangnya dikembalikan.
Ini bukan konsep Barat, tapi bukti empiris bahwa kepercayaan mengurangi ketidakpastian hidup. Begitu pula dengan “persepsi korupsi”, di mana koefisien regresi WHR (-0.669) membuktikan korupsi merusak kebahagiaan secara universal.
Bahagia itu tidak sederhana!
Finlandia mengajarkan pelajaran berharga: kebahagiaan bukan perjalanan solo yang dicapai dengan “makan soto sendiri”, melainkan proyek kolektif berbasis rekayasa sosial-politik. WHR 2025 membuktikan kebahagiaan dapat diukur secara ilmiah, penyebabnya teridentifikasi, dan polanya dapat direplikasi. Akhirnya, bahagia tidak sederhana!
Kunci Finlandia terletak pada sirkuit virtuos: kepercayaan warga, kebijakan negara inklusif, dan kesetaraan kebahagiaan serta peningkatan kepercayaan. Di sana, kebahagiaan lahir dari kepastian bahwa dompet hilang akan kembali, negara menyokong saat krisis, dan tetangga menolong tanpa syarat. Inilah ukuran kebahagiaan! Bukan senyum instagramable di depan mangkuk soto, melainkan ketenangan hidup dalam masyarakat saling percaya.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Apa Benar IQ Orang Indonesia itu 78,5?
Apakah Filosofi “Banyak Anak Banyak Rezeki” Masih Relevan? Antara Mitos dan Data