Fenomena perempuan pecinta K-Pop, terutama dari kalangan remaja (usia 16-18 tahun) dan dewasa muda (usia 20-an), sering kali mendapat stereotip negatif dari generasi tua, seperti Baby Boomer (lahir 1946–1964) dan Generasi X (lahir 1965–1980). Kritik ini tidak hanya menyasar selera musik, tetapi juga meluas ke aspek perilaku, gaya hidup, dan identitas penggemar.
Fenomena ini berlangsung secara global, di mana generasi tua cenderung merendahkan kegemaran generasi muda sebagai “kekanak-kanakan” atau “tidak bermutu”. Bahkan fenomena tersebut juga terjadi di Korea Selatan.
Penelitian Bu & Lee berjudul “A Study on Koreans Perception of the Word Kkondae” (2021) menguraikan hal tersebut. Generasi tua, sering disebut “kkondae”, yang didefinisikan sebagai individu berusia 50-an atau lebih yang menggunakan wewenang berbasis usia untuk memaksakan nilai-nilai lama. Persoalan ini tidak lepas dari konstruksi sosial yang mengaitkan usia, gender, dan hierarki budaya.
Stereotip Berbasis Gender dan Usia
Pandangan generasi tua terhadap perempuan pecinta K-Pop berakar pada stereotip yang telah mengkristal melalui sudut pandang gender dan usia. Gerrard dalam artikelnya berjudul “Groupies, Fangirls and Shippers: The Endurance of a Gender Stereotype” (2021) menguraikan hal tersebut.
Pertama, konsep fangirl, yang secara spesifik merujuk pada perempuan muda usia remaja hingga dewasa awal (16–30 tahun), kerap dipersepsikan sebagai kelompok yang dianggap emosional, irasional, dan terobsesi dengan idola.
Istilah ini muncul dari sejarah panjang stigmatisasi terhadap penggemar perempuan, seperti groupie tahun 1960-an yang dikaitkan dengan hasrat seksual terhadap musisi pria. Generasi tua, seperti Baby Boomer, sering menggunakan istilah ini untuk mereduksi minat generasi muda, khususnya perempuan, sebagai sesuatu yang “tidak produktif” atau “berlebihan”.
Kedua, perspektif generasi tua dibentuk oleh norma hierarki usia yang kaku. Di Korea, partisipan penelitian Bu & Lee (2021) yang berusia 30–50 tahun (Generasi X dan Milenial awal) mendefinisikan kkondae sebagai “orang yang menggunakan usia untuk memaksakan otoritas”. Dalam konteks ini, generasi tua (50 tahun ke atas) kerap menolak budaya pop modern seperti K-Pop karena dianggap tidak sesuai dengan nilai “kedewasaan” yang mereka junjung.
Achenbaum (2018) dalam artikelnya berjudul “Ageism, Past and Present” menjelaskan bahwa ageisme atau prasangka berbasis usia telah menjadi bagian dari sejarah manusia, di mana kelompok tua merasa berhak mengontrol standar budaya. Misalnya, di AS, generasi Baby Boomer kerap mengkritik musik pop sebagai “tidak bermakna” dibandingkan genre rock atau klasik yang mereka anggap lebih “berkualitas”.
Ketidaksetaraan gender memperparah fenomena ini. Perempuan pecinta K-Pop tidak hanya dihakimi karena usia, tetapi juga karena gender. Studi Gerrard (2021) tentang komunitas penggemar serial Pretty Little Liars (2010–2017) menunjukkan bahwa aktivitas shipping, dukungan terhadap hubungan romantis fiksi antar-karakter, sering dianggap sebagai “kegiatan feminin” yang tidak intelektual.
Partisipan dewasa (usia 30–50 tahun) dalam penelitian Gerrard menggunakan istilah seperti fangirl untuk mengkritik remaja perempuan (usia 16–18 tahun) yang dianggap “terlalu emosional”. Hal ini mencerminkan pandangan patriarki yang merendahkan minat perempuan sebagai sesuatu yang “tidak serius”, sekaligus menegaskan dominasi generasi tua dalam menentukan standar budaya.
Mekanisme Psikologis: Mempertahankan Superioritas Generasi
Mengapa generasi tua merasa perlu merendahkan selera musik generasi muda? Jawabannya terletak pada mekanisme psikologis untuk mempertahankan identitas dan superioritas generasi. Achenbaum (2018) menjelaskan bahwa ageisme sering muncul sebagai respons terhadap ketakutan akan penurunan status sosial seiring bertambahnya usia.
Generasi Baby Boomer (lahir 1946–1964) dan Generasi X (lahir 1965–1980), misalnya, mungkin merasa terancam oleh popularitas K-Pop yang didominasi oleh generasi muda (Generasi Z). Dengan merendahkan budaya pop modern, mereka menegaskan bahwa selera musik mereka, seperti rock tahun 1970-an atau pop 1980-an, lebih “berkelas” karena terkait dengan nostalgia dan pengalaman hidup yang “matang”.
Proses ini juga terkait dengan konsep generation gap. Partisipan usia 30–50 tahun dalam penelitian Bu & Lee (2021) menyatakan bahwa kkondae adalah sosok yang “menggeneralisasi pengalaman pribadi sebagai kebenaran absolut”. Generasi tua cenderung menggunakan masa lalu, misalnya, perjuangan hidup di era pascaperang atau krisis ekonomi, sebagai parameter untuk menilai kesahihan budaya generasi muda.
K-Pop, dengan elemen visual, tarian kompleks, dan fandom yang terorganisir, dianggap sebagai ancaman terhadap nilai “kesederhanaan” yang mereka yakini. Dengan mengkritik K-Pop, generasi tua secara tidak langsung memvalidasi identitas mereka sendiri sebagai kelompok yang lebih “berbudaya” dan “berpengalaman”.
Selain itu, terdapat dimensi psikososial di mana generasi tua merasa perlu mengontrol narasi budaya. Studi Gerrard (2021) tentang komunitas penggemar The Vampire Diaries (2009–2017) menunjukkan bahwa partisipan dewasa (usia 30–40 tahun) menggunakan istilah seperti shipper atau fangirl untuk membedakan diri dari remaja perempuan (usia 16–18 tahun).
Mekanisme ini memungkinkan mereka memisahkan diri dari perilaku yang dianggap “kekanak-kanakan”, sekaligus menegaskan posisi sebagai pihak yang lebih rasional. Dalam konteks K-Pop, kritik terhadap “keterlibatan emosional” penggemar perempuan, seperti menangis di konser atau membuat konten fanatik, bisa dilihat sebagai upaya generasi tua untuk menormalisasi dominasi mereka dalam menentukan standar “kewajaran” berbudaya.
Penutup
Pandangan rendah generasi tua terhadap perempuan pecinta K-Pop (Generasi Z) merupakan hasil akumulasi kompleks antara stereotip gender, ageisme, dan mekanisme pertahanan psikologis.
Stereotip seperti fangirl atau kkondae tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan sosial, tetapi juga menunjukkan bagaimana generasi tua menggunakan usia dan pengalaman sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni budaya.
Untuk mengurangi fenomena ini, diperlukan pengakuan bahwa budaya pop bersifat dinamis dan merefleksikan konteks zamannya. Seperti diingatkan oleh Achenbaum (2018), ageisme adalah produk sistemik yang membutuhkan dekonstruksi terhadap norma hierarki usia dan gender. Dengan membuka ruang dialog antargenerasi, masyarakat dapat bergerak menuju penghargaan yang lebih inklusif terhadap keragaman ekspresi budaya.
Penulis: Redaksi Insight by Research
Baca Juga:
Ageisme: Hierarki Usia dalam Pusaran Stereotip yang Membelenggu Generasi Muda