Mengapa Islam di Indonesia Tidak Menjadi Kekuatan Politik Seperti di Turki atau Mesir?

Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia menunjukkan dinamika yang kompleks dan berbeda secara signifikan dari Turki atau Mesir.

Di Mesir, Ikhwanul Muslimin berhasil membangun jaringan civil society yang kuat melalui layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial mandiri, menciptakan “negara paralel” yang mampu mengimbangi pengaruh pemerintah. Pada 2012, mereka bahkan sempat memenangkan pemilu dan mengantarkan Muhammad Mursi sebagai presiden, meski kemudian digulingkan oleh militer.

Di Turki, Partai AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi), partai dengan identitas Islam seperti PKS di Indonesia, tidak hanya berhasil memenangkan pemilu berulang kali sejak 2002, tetapi juga mengonsolidasikan kekuasaan hingga mengubah struktur negara sekuler menjadi lebih religius di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan.

Vedi Hadiz dalam buku “Islamic Populism in Indonesia and the Middle East” (2016) menjelaskan bahwa kunci keberhasilan kedua kasus ini terletak pada kemampuan membentuk aliansi lintas kelas (kelas menengah terdidik, kelas bawah, dan borjuis Islam) yang solid.

Namun di Indonesia, partai Islam seperti PKS, PPP, atau PAN tidak pernah menjadi pemenang pemilu, sementara organisasi massa Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak memiliki pengaruh sekuat Ikhwanul Muslimin dalam menantang atau menyeimbangi negara.

Vedi Hadiz menegaskan bahwa perbedaan ini, yang mengakibatkan kekuatan politik Islam tidak seperti di Turki maupun Mesir, berakar pada faktor struktural, historis, dan ekonomi-politik yang spesifik, terutama ketiadaan borjuis Islam, fragmentasi gerakan, serta kegagalan memanfaatkan neoliberalisme sebagai basis perlawanan.

Ketiadaan Borjuis Islam: Dilema Ekonomi-Politik

Dalam analisis Hadiz, borjuis Islam menjadi tulang punggung finansial dan politik bagi populisme Islam di Turki dan Mesir. Di Turki, borjuis dari Anatolia muncul pasca-neoliberalisasi 1980-an. Mereka adalah pengusaha kecil dan menengah yang terhubung dalam jaringan bisnis seperti MUSIAD (Asosiasi Pengusaha dan Industrialis Independen).

Kelompok ini mendanai Partai AKP melalui program layanan sosial untuk kelas bawah, seperti pembangunan sekolah dan klinik di perkotaan, sambil mengusung narasi “umat tertindas” oleh negara sekuler (Freer, 2019).

Di Mesir, meski borjuis Ikhawanul Muslimin tidak sekuat di Turki, mereka memiliki jaringan bisnis yang mendukung aktivitas sosial. Misalnya, Khairat el-Shater, wakil pemimpin Ikhwanul Muslimin, adalah pengusaha tekstil yang mendanai organisasi melalui perusahaan miliknya.

Di Indonesia, borjuis Islam hampir tidak ada. Sejak era kolonial, ekonomi dikuasai oleh etnis Tionghoa dan kroninya Orde Baru. Hadiz mencatat bahwa “dominasi etnis Tionghoa dalam perdagangan dan industri menghambat terbentuknya borjuis Islam yang kohesif”.

Upaya keluarga Suharto atau elit politik seperti Prabowo Subianto untuk mengklaim diri sebagai “pelindung umat” dalam kasus anti-Ahok (2016–2017) lebih bersifat oportunis ketimbang ideologis. Mereka tidak membangun basis ekonomi yang konsisten untuk mendukung gerakan Islam.

Akibatnya, partai Islam seperti PKS atau PPP kesulitan menggalang dana untuk kampanye atau membangun infrastruktur layanan sosial. Tanpa dukungan borjuis, gerakan Islam di Indonesia terjebak dalam ketergantungan pada oligarki yang tidak memiliki komitmen ideologis.

Fragmentasi Organisasi Islam dan Warisan Orde Baru

Fragmentasi gerakan Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari warisan politik Orde Baru. Courtney Freer (2019) dalam ulasannya terhadap karya Hadiz menyoroti bahwa rezim Suharto sengaja memecah belah organisasi Islam melalui kombinasi represi dan kooptasi. NU, misalnya, dijadikan alat politik melalui afiliasi dengan Golkar, sementara Muhammadiyah dibiarkan berkembang di sektor pendidikan dan sosial dengan syarat tidak menantang negara.

Strategi ini melemahkan kapasitas organisasi Islam sebagai kekuatan penyeimbang. Pasca-Reformasi 1998, partai Islam seperti PKS mencoba meniru model Ikhwanul Muslimin dengan membangun layanan sosial. Namun, mereka terjebak dalam politik transaksional. Seperti dikritik Hadiz bahwa PKS mengklaim mewakili umat, tetapi basis ekonominya lemah dan terlibat korupsi seperti partai lainnya.

Perbedaan ini kontras dengan Mesir, di mana Ikhwanul Muslimin membangun jaringan yang independen dari negara. Mereka mengelola rumah sakit, sekolah, dan program bantuan bencana, sehingga memiliki legitimasi di mata masyarakat.

Di Indonesia, layanan sosial NU atau Muhammadiyah justru sering bergantung pada pendanaan negara atau donor asing. Misalnya, NU menerima banyak bantuan dari pemerintah, yang membatasi kemampuan mereka untuk kritis terhadap kebijakan negara.

Neoliberalisme dan Ketimpangan yang Tidak Terjawab

Neoliberalisme menjadi faktor krusial yang membedakan perkembangan populisme Islam di Indonesia dengan Turki atau Mesir. Di Turki, neoliberalisme pasca-1980 melahirkan borjuis Islam Anatolia yang mendukung AKP. Mereka memanfaatkan kebijakan ekspor-oriented industrialization untuk mengembangkan bisnis dan mendanai gerakan Islam.

Sementara di Indonesia, neoliberalisme justru memperdalam ketimpangan tanpa melahirkan borjuis Islam. Hadiz menjelaskan bahwa dominasi etnis Tionghoa dan oligarki lama dalam ekonomi neoliberal membuat kelas menengah Islam terpinggirkan. Kelas menengah terdidik Islam lebih tertarik pada konsumerisme dan mobilitas individu ketimbang proyek kolektif.

Di Mesir, ketimpangan akibat neoliberalisme justru dimanfaatkan Ikhwanul Muslimin untuk membangun narasi perlawanan. Mereka menawarkan layanan sosial sebagai alternatif dari negara yang dianggap korup dan tidak adil.

Di Indonesia, isu ketimpangan sering tereduksi menjadi sentimen anti-Tionghoa atau anti-asing, bukan kritik struktural terhadap sistem ekonomi. Akibatnya, gerakan Islam gagal membangun aliansi multikelas yang kohesif.

Ketergantungan pada Konteks Nasional

Perbedaan strategi gerakan Islam di tiga negara juga menjadi kunci. Di Turki, AKP berhasil menguasai negara melalui infiltrasi lembaga-lembaga sekuler seperti militer dan birokrasi. Mereka menggunakan retorika demokrasi dan hak asasi manusia untuk melegitimasi kekuasaan, meski pada akhirnya membangun rezim otoriter. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin fokus pada penguatan civil society, meski akhirnya dihancurkan oleh militer.

Di Indonesia, gerakan Islam tidak memiliki strategi yang jelas. Partai Islam terjebak dalam pragmatisme elektoral, sementara organisasi massa seperti Front Pembela Islam (FPI) atau kelompok radikal seperti Jemaah Islamiyah (JI) menggunakan kekerasan atau aksi massa sporadis.

Hadiz mencatat bahwa kelompok seperti Darul Islam (DI) tidak pernah menjadi kekuatan signifikan karena tidak memiliki basis sosial atau dukungan ekonomi. Kegagalan ini mencerminkan ketidakmampuan gerakan Islam Indonesia untuk mentransformasikan ketidakpuasan masyarakat menjadi agenda politik yang sistematis.

Penutup

Kelemahan Islam politik di Indonesia bersifat struktural. Tanpa borjuis Islam yang mandiri, gerakan ini tidak bisa membiayai diri sendiri atau membangun infrastruktur sosial yang kompetitif. Fragmentasi organisasi dan warisan represi Orde Baru memperparah ketidakmampuan ini.

Sementara di Turki dan Mesir, gerakan Islam berhasil mengintegrasikan isu keadilan sosial dengan strategi nasional, di Indonesia, isu-isu tersebut terfragmentasi menjadi konflik identitas yang sempit.

Namun, Hadiz mencatat bahwa perubahan mungkin terjadi jika terjadi transformasi ekonomi-politik. Misalnya, munculnya pengusaha muslim generasi baru yang memiliki komitmen ideologis, atau konsolidasi organisasi Islam di luar struktur negara. Tanpa perubahan ini, Islam politik di Indonesia akan tetap terperangkap dalam politik marjinal, jauh dari pengaruh politik seperti Ikhwanul Muslimin atau AKP.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Baca Juga

Aliansi Ulama-Negara sebagai Penyebab Kemunduran Islam

Scroll to Top