Obsesi Kebahagiaan yang Justru Mengundang Kegelisahan

Ruth Whippman adalah seorang jurnalis asal Inggris yang baru pindah ke Bay Area, San Francisco, Amerika Serikat. Dia segera dihadapkan pada perbedaan budaya yang mencolok.  Dia menemukan dirinya terjebak dalam percakapan berulang yang tak pernah terjadi di London, di mana orang-orang Amerika terus-menerus membahas kebahagiaan dan berbagai metode yang mereka coba untuk meraihnya, seperti meditasi atau yoga.

Baginya, topik seputar “mengikuti passion“, “mencari tujuan hidup”, dan mengukur kebahagiaan pribadi adalah sesuatu yang justru asing dan memalukan untuk diumbar. Hal ini mengingat latar belakangnya di London di mana topik kebahagiaan dianggap tabu dan pernyataan bahwa seseorang mengejarnya secara terbuka dinilai sebagai sikap kurang elok.

Fenomena ini memicu pertanyaan baginya: Mengapa Amerika begitu terobsesi dengan upaya mengejar kebahagiaan? Dan yang lebih penting lagi, apakah obsesi ini benar-benar berhasil (orang-orang benar-benar bahagia)?

Buku “America the Anxious: How Our Pursuit of Happiness Is Creating a Nation of Nervous Wrecks” (terbit pertama tahun 2016) lahir dari rasa penasaran dan keheranan itu. Whippman berargumen bahwa pengejaran tanpa henti dan ekspektasi tak realistis terhadap kebahagiaan justru sedang “menciptakan bangsa yang dilanda kecemasan”.

Dia mengamati sesuatu yang baginya menarik secara kultural. Di Amerika, kebahagiaan telah menjelma menjadi tropi kemenangan dalam kompetisi kehidupan. Kebahagiaan (individual) bagi orang Amerika telah mengalahkan prestasi profesional, kesuksesan sosial, keluarga, persahabatan, bahkan cinta.

Obsesi ini, meski mulai menyebar ke negara lain, mencapai puncaknya di Amerika karena tingginya ekspektasi, mungkin bahkan tidak realistis, tentang seperti apa kebahagiaan itu seharusnya.

Whippman mendeskripsikannya sebagai gambaran yang terlalu muluk-muluk, semacam harapan hidup di dunia dongeng Barbie Dream House dan Disneyland, sesuatu yang benar-benar menakjubkan yang mungkin tidak akan pernah benar-benar kita capai.

Ironisnya, meski mengejarnya mati-matian, tak seorang pun benar-benar bisa mendefinisikan seperti apa wujud kebahagiaan yang sebenarnya, dan kita sering kali salah memprediksi apa yang akan membuat kita bahagia.

Untuk membedah “kompleks industri kebahagiaan” di Amerika ini, Whippman melakukan investigasi langsung dengan semangat seorang antropolog, mengingat latar belakangnya adalah seorang jurnalis.

Dia mengunjungi jantung-jantung klaim kebahagiaan: Provo, Utah, yang dianggap kota paling bahagia berkat populasi Mormon-nya yang besar; markas Zappos, di mana sang CEO terobsesi membuat karyawan “bahagia” bekerja; serta mencoba praktik populer seperti meditasi dan terjun ke seminar kontroversial Landmark Forum yang, baginya, manipulatif.

Temuannya mengungkap kenyataan pahit di balik senyum yang dipaksakan. Di balik keriangan masyarakat Mormon Provo, dia menemukan fakta mencengangkan. Utah justru mencatat tingkat penggunaan antidepresan tertinggi di AS dan warganya dilaporkan memiliki pemikiran bunuh diri terbanyak, mengungkap tekanan untuk mempertahankan “topeng bahagia” yang konstan.

Proyek utopis CEO Zappos di Las Vegas, yang dirancang khusus untuk “memaksimalkan inovasi dan kebahagiaan”, malah berubah menjadi lokasi klaster bunuh diri yang tragis. Seminar Landmark Forum pun membongkar praktik penyalahan korban yang merusak secara psikologis.

Kesimpulan paradoks Whippman menjadi inti bukunya: usaha obsesif untuk mengejar, mengukur, dan memaksakan kebahagiaan justru merupakan sumber utama kecemasan dan ketidakbahagiaan itu sendiri. Tekanan berlebihan untuk “bahagia” dalam budaya tertentu, seperti yang dia amati, justru melahirkan kecemasan yang mendalam. Pesan populer untuk sekadar “hidup di saat ini” pun berubah menjadi beban tambahan, “seperti tugas lain yang harus diselesaikan”.

Fenomena ini merambah ke segala aspek, mulai dari pola asuh hingga ranah media sosial, di mana kita semua terlibat dalam “perlombaan” untuk memproyeksikan citra kebahagiaan sempurna.

Memposting satu momen sempurna dari perjalanan memetik apel yang penuh rengekan dan kekecewaan, yang kemudian disangka orang sebagai gambaran kebahagiaan sempurna. Citra kebahagiaan 24 sehari ini, tegasnya, tidak mungkin tercapai dan tidak realistis.

Menurutnya, untuk hidup secara psikologis sehat dan bermakna, seseorang perlu mengakui bahwa ada spektrum emosi manusia. Kita tidak bisa bahagia sepanjang waktu, dan kita pun tidak ingin seperti itu. Untuk hidup yang bermakna, kita perlu mengakui bahwa baik emosi positif maupun negatif memiliki nilai, dan mereka memberi tahu kita sesuatu.

Meski Whippman mengakui bahwa analisisnya terutama menyoroti keresahan kelas menengah ke atas yang memiliki “kemewahan” untuk mengkhawatirkan hal-hal seperti yoga balita di prasekolah, ia tidak mengabaikan faktor nyata peningkat kebahagiaan.

Dia mencatat pentingnya jaring pengaman sosial yang kuat, seperti program kesejahteraan gereja yang tangguh di Salt Lake City, yang menciptakan tingkat mobilitas sosial setara Denmark. Contoh ini menunjukkan korelasi positif yang jelas antara dukungan sosial konkret dan kesejahteraan masyarakat yang sejati, jauh dari retorika kebahagiaan instan.

Poin ini ditekankan pada bagian akhir bukunya. Whippman mengingatkan untuk kembali lagi memperluas makna kebahagiaan yang tidak bersifat sempit dan individual, namun menjadikannya semangat kolektif secara sosial.

Secara personal, penelusuran panjang Whippman membawanya pada kesadaran sederhana namun mendalam: “Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk mengawasi suhu emosional dengan obsesif, semakin kecil kemungkinan potensi bahagia. Aku paling bahagia justru ketika topik kebahagiaan paling jauh dari pikiranku.”

“America the Anxious” hadir bukan hanya sebagai bacaan yang lincah dan menghibur, tetapi terutama sebagai kritik sosial yang tajam dan provokatif. Dengan memanfaatkan perspektif “orang luar”-nya, Whippman berhasil membedah mitos kebahagiaan ala Amerika, mengungkap kecemasan dan kepura-puraan yang bersembunyi di balik industri kebahagiaan yang masif dan tekanan media sosial.

Buku ini adalah ajakan yang sangat berharga untuk melepaskan diri dari obsesi pengukuran kebahagiaan yang mandul, menerima spektrum penuh pengalaman manusia, dan mungkin, justru dengan begitu, menemukan kedamaian yang selama ini dikejar dengan penuh kecemasan.

Pesannya tetap relevan dan penting: Kebahagiaan sejati seringkali datang diam-diam, ketika kita berhenti mengejarnya dan mulai benar-benar menjalani hidup.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Baca Juga:

Ilusi Psikologis dan Risiko Law of Attraction (LOA)

Law of Attraction dan Quantum Healing adalah Pseudosains

Ketika Algoritma Disalahartikan sebagai Kekuatan Kosmik: Kekeliruan LoA di TikTok

Scroll to Top