Pada esai sebelumnya, telah dijelaskan konsep Hyperactive Agency Detection Device (HADD), yakni mekanisme kognitif yang membuat manusia mudah “melihat” atau “meyakini” kehadiran agen (makhluk sadar) di balik peristiwa ambigu, seperti mengira suara gemerisik sebagai hantu atau menghubungkan bencana alam dengan kemarahan dewa.
Tulisan ini menjabarkan hasil penelitian terbaru dari Piotr Szymanek, Jana Nenadalová, dan Neil Van Leeuwen berjudul (2024) “Revisiting Feeling of Threat and Agency Detection: A Preregistered Virtual Reality Study“, yang menguji validitas HADD melalui eksperimen realitas virtual.
Studi tersebut dirancang untuk menjawab pertanyaan: Apakah rasa terancam meningkatkan kecenderungan manusia mendeteksi agen palsu? Temuan penelitian tidak hanya merevisi pemahaman tentang HADD, tetapi juga memperkaya diskusi tentang bagaimana mekanisme kognitif ini berkontribusi pada kepercayaan religius.
Penelitian melibatkan 227 peserta yang menjelajahi hutan virtual berkabut tanpa kehadiran agen nyata. Mereka dibagi dua kelompok: kelompok eksperimen diberi tahu bahwa hutan dihuni makhluk “bermusuhan”, sedangkan kelompok kontrol diberi tahu makhluknya “netral”. Hasilnya, meski kelompok eksperimen lebih cemas, mereka tidak lebih sering melaporkan deteksi agen palsu dibanding kelompok kontrol.
Mayoritas peserta dari kedua kelompok justru mendeteksi “makhluk” melalui suara (misalnya, mengira suara langkah kaki sebagai entitas), bukan penglihatan langsung. Temuan ini menunjukkan bahwa deteksi agen palsu lebih dipicu oleh ketidakpastian sensorik (seperti kabut dalam VR yang mengaburkan penglihatan) daripada rasa terancam.
Penelitian ini memperkuat teori predictive processing (PPAD), yang menjelaskan bahwa otak bekerja seperti mesin prediksi. Saat data sensorik tidak jelas, otak mengandalkan ekspektasi sebelumnya, misalnya, cerita tentang hantu atau ajaran agama tentang wujud Tuhan, untuk menebak apa yang terjadi.
Hal ini terlihat dari cara peserta membayangkan makhluk sesuai dengan “petunjuk” yang diberikan: kelompok eksperimen membayangkan sosok menyeramkan seperti Slenderman, sedangkan kelompok kontrol membayangkan makhluk ramah seperti peri hutan. Dengan kata lain, otak mengisi celah informasi dengan memadukan data sensorik dan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Temuan ini terkait erat dengan esai sebelumnya tentang HADD sebagai penyebab kepercayaan pada hantu, dewa, atau teori konspirasi. Jika sebelumnya HADD dianggap sebagai “alarm evolusi” yang membuat manusia paranoid terhadap ancaman, penelitian ini justru menunjukkan bahwa deteksi agen palsu tidak secara khusus dipicu oleh rasa takut, melainkan oleh kondisi ambigu yang memaksa otak mencari pola.
Misalnya, dalam kegelapan atau kesunyian, otak mudah mengaitkan suara gemerisik dengan keberadaan makhluk gaib, bukan karena takut, tetapi karena kebiasaan otak mencari penjelasan sederhana. Teori konspirasi juga bekerja dengan cara serupa: orang cenderung menghubungkan peristiwa acak (seperti pandemi) dengan “tangan tersembunyi” karena otak sulit menerima ketidakteraturan.
Penelitian ini juga menyoroti peran budaya dan pembelajaran sosial dalam membentuk kepercayaan supernatural. Jika seseorang tumbuh dengan cerita tentang dewa yang murka atau hantu penunggu hutan, otaknya akan lebih mudah “mengisi” ketidakpastian sensorik dengan narasi tersebut. Ini menjelaskan mengapa pengalaman religius, seperti merasakan kehadiran Tuhan, sering terjadi dalam kondisi ritual yang ambigu (gelap, musik khidmat, atau pengulangan mantra).
Secara keseluruhan, meski HADD tidak sepenuhnya salah, penelitian ini menggeser pemahaman kita: kepercayaan pada hantu, dewa, atau konspirasi bukan sekadar hasil dari “kewaspadaan berlebihan” evolusioner, tetapi juga akibat cara otak mengolah informasi dalam ketidakpastian, dipengaruhi oleh konteks budaya dan ekspektasi yang telah tertanam. Dengan demikian, agama dan mitos mungkin lahir dari kombinasi unik antara lingkungan ambigu, kecenderungan otak mencari pola, dan narasi yang diwariskan secara sosial, bukan semata-mata karena manusia “terlalu paranoid”.
Penulis: Redaksi Insight by Research