Teori Bumi Datar: Pseudosains yang Berakar pada Konflik Sains dan Agama

Teori Bumi Datar (Flat Earth Theory/FET) adalah contoh nyata bagaimana pseudosains dapat berkembang dengan memanfaatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas ilmiah dengan sumber daya narasi agama.

Meskipun bertentangan dengan bukti empiris yang telah divalidasi selama berabad-abad, FET terus menarik pengikut melalui klaim yang terkesan “ilmiah” namun cacat metodologi, serta retorika yang menggabungkan konspirasi dan spiritualitas.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketegangan historis antara sains dan agama, tetapi juga menunjukkan bagaimana media digital menjadi sarana penyebaran disinformasi yang efektif.

Asal Usul dan Perkembangan Teori Bumi Datar

Menurut artikel Nothaft berjudul “Zaccaria Lilio and the Shape of the Earth: A Brief Response to Allegro’s ‘Flat Earth Science’” (2017), akar kepercayaan Bumi Datar (FET) sebenarnya sudah ada sejak zaman klasik dan abad pertengahan.

Saat itu, pemahaman tentang alam semesta masih banyak dipengaruhi oleh tafsiran harfiah kitab suci. Meskipun filsuf Yunani Kuno seperti Pythagoras dan Aristoteles percaya bahwa Bumi bulat, pandangan ini sering bertentangan dengan keyakinan agama.

Misalnya, pada abad ke-4 hingga ke-5, tokoh gereja seperti Agustinus dan Laktansius menolak keberadaan “Antipodes” (orang yang diyakini tinggal di belahan Bumi Selatan). Laktansius bahkan secara tegas menentang gagasan Bumi bulat dalam bukunya “Divine Institutes”, karena menurutnya hal itu bertentangan dengan frasa Alkitab tentang “ujung-ujung Bumi” (Nothaft, 2017).

Pada abad ke-15, Zaccaria Lilio melanjutkan penolakan terhadap Antipodes melalui tulisannya “Contra Antipodes” (1496). Ia berpendapat bahwa daratan hanya ada di belahan utara, sementara belahan selatan sepenuhnya tertutup air. Argumen ini didasarkan pada model “double-sphere” (bola ganda) yang populer di kalangan ilmuwan abad pertengahan.

Menurut model ini, bumi dan air awalnya berbentuk bola konsentris, tetapi Tuhan “mengangkat” sebagian air untuk menciptakan daratan. Walaupun Lilio tidak secara langsung menyangkal bumi bulat, karyanya menunjukkan upaya untuk menyesuaikan sains dengan ajaran agama. Cara berpikir inilah yang kelak menjadi ciri khas gerakan Bumi Datar modern (Nothaft, 2017).

Menurut penelitian Pannofino dalam artikelnya “Deception: Flat-Earth Conspiracy Theory between Science and Religion” (2024), gerakan Bumi Datar (FET) sebagai teori konspirasi modern mulai muncul di abad ke-19.

Saat itu, Samuel Rowbotham menerbitkan buku “Zetetic Astronomy: Earth Not a Globe” (1865). Dalam bukunya, Rowbotham menyatakan bahwa Bumi berbentuk piringan datar: Kutub Utara sebagai pusatnya, sedangkan Antarktika dianggap sebagai dinding es raksasa yang mengelilingi tepian.

Ia juga mempromosikan metode “Zetetic”, yaitu cara berpikir yang mengutamakan pengamatan langsung dan menolak teori ilmu pengetahuan yang dianggap hanya asumsi. Metode inilah yang menjadi dasar pseudosains (ilmu palsu) dalam gerakan Bumi Datar. Rowbotham bahkan menggunakan ayat Alkitab, seperti Ayub 38:13 (“memegang ujung-ujung bumi”), untuk memperkuat pendapatnya (Pannofino, 2024).

Di era internet, teori Bumi Datar menjadi populer kembali. Contohnya, pada 2016, rapper B.o.B. ramai di media sosial karena mengunggah tweet yang meragukan bentuk Bumi bulat, bahkan berdebat dengan fisikawan terkenal Neil deGrasse Tyson.

Platform seperti YouTube turut berperan: algoritmanya sering menyarankan video Bumi Datar kepada pengguna yang sebelumnya menonton konten konspirasi.

Menurut studi Olshansky berjudul “Flat-Smacked! Converting to Flat Eartherism” (2024), banyak orang awalnya tertarik karena rasa penasaran. Namun, ketika mereka gagal membuktikan argumen Bumi bulat setelah menonton video tersebut, muncul emosi seperti marah karena merasa dibohongi atau keinginan mencari makna spiritual.

Kombinasi faktor inilah yang membuat mereka akhirnya percaya pada teori Bumi Datar (Olshansky et al., 2024).

Argumen Utama Penganut Teori Bumi Datar

Penganut Teori Bumi Datar (FET) menggunakan beberapa argumen yang terdengar masuk akal, tetapi sebenarnya bertentangan dengan prinsip sains. Pertama, mereka menyatakan bahwa air selalu datar, jadi bumi tidak mungkin bulat.

Mereka mengabaikan peran gravitasi yang menarik air ke pusat bumi dan menganggap eksperimen sederhana, seperti mengukur permukaan danau dengan laser, sebagai “bukti” bahwa air tidak melengkung (Pannofino, 2024).

Kedua, mereka menuduh bahwa semua foto Bumi bulat dari luar angkasa adalah rekayasa komputer buatan NASA. Menurut mereka, lembaga antariksa sengaja memalsukan bukti untuk menjaga “kebohongan global” agar masyarakat tidak tahu “kebenaran” (Guyver, 2024).

Ketiga, penganut FET menyangkal bukti rotasi bumi, seperti efek Coriolis (yang memengaruhi arah angin atau badai) atau pergerakan bintang di langit. Mereka beralasan bahwa jika bumi berputar, manusia pasti merasakannya, padahal kecepatan rotasi yang konstan membuat efek tersebut tidak terasa langsung (Pannofino, 2024).

Keempat, mereka merujuk Kitab Kejadian 1:6-8 tentang “kubah langit” (firmament) sebagai struktur fisik yang melindungi bumi dari ruang hampa. Klaim ini digunakan untuk menolak eksplorasi luar angkasa dan teori Big Bang, karena dianggap bertentangan dengan deskripsi Alkitab (Olshansky et al., 2024).

Terakhir, mereka percaya ada konspirasi global yang melibatkan pemerintah, ilmuwan, dan media untuk menyembunyikan “bentuk Bumi sebenarnya”. Tuduhan ini mencakup semua hal, mulai dari misi pendaratan di bulan hingga kurikulum sains di sekolah, yang dianggap sebagai bagian dari upaya memanipulasi pengetahuan publik (Guyver, 2024).

Konflik Sains dan Agama

Keterangan yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa konflik antara sains dan agama menjadi inti dari narasi Teori Bumi Bulat. Sejak abad pertengahan, konsep Bumi bulat telah dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas kitab suci.

Seperti yang diceritakan sebelumnya, Zaccaria Lilio, dalam “Contra Antipodes” (1496), menggunakan ayat Alkitab untuk menolak keberadaan Antipodes. Misalnya, ia mengutip Kisah Para Rasul 17:26, “Dia menjadikan semua bangsa yang mendiami seluruh muka bumi”, untuk berargumen bahwa manusia tidak mungkin hidup di belahan Bumi yang “terbalik” (Nothaft, 2017).

Di era modern, FET mengklaim bahwa sains heliosentris adalah “agama sekuler” yang ingin menghapus peran Tuhan. Mereka menganggap model bumi bulat dan Big Bang sebagai upaya untuk menegaskan bahwa alam semesta tercipta secara acak, bukan melalui desain ilahi.

Sebaliknya, FET menawarkan narasi alternatif: Bumi datar adalah ciptaan khusus Tuhan, dengan manusia sebagai pusat alam semesta. Klaim ini didukung oleh ayat-ayat seperti Mazmur 104:5 (“Dia mendasarkan bumi di atas tumpuannya”) dan Pengkhotbah 1:5 (“Matahari terbit dan matahari terbenam”) yang diinterpretasikan secara literal (Pannofino, 2024).

Namun, upaya menyelaraskan sains dan agama dalam FET penuh dengan kontradiksi. Misalnya, penganut FET mengabaikan fakta bahwa banyak ilmuwan abad pertengahan, seperti Thomas Aquinas, justru menggunakan Alkitab untuk mendukung model bumi bulat. Aquinas berargumen bahwa bentuk bulat bumi tidak bertentangan dengan iman, karena “Tuhan menciptakan alam semesta dengan keteraturan geometris” (Nothaft, 2017).

FET sebagai Pseudosains

FET memenuhi semua kriteria pseudosains. Pertama, teori ini menolak metode ilmiah seperti peer review dan verifikasi independen. Misalnya, ketika dihadapkan pada bukti foto bumi dari lembaga antariksa non-NASA (seperti ESA atau JAXA), penganut FET beralih ke tuduhan konspirasi global. Strategi ini menghindari tanggung jawab untuk menyediakan bukti alternatif yang dapat diuji (Guyver, 2024).

Kedua, FET menyalahgunakan bahasa ilmiah untuk memberi kesan legitimasi. Istilah seperti “eksperimen zetetic” atau “bukti empiris” digunakan secara selektif, sementara metode yang diterapkan, seperti mengukur kelengkungan Bumi dengan teleskop amatir, tidak memenuhi standar objektivitas. Rowbotham sendiri mengakui bahwa metode Zetetic hanya mengandalkan “pengamatan biasa” tanpa koreksi terhadap bias perseptual (Pannofino, 2024).

Ketiga, FET mengandalkan narasi emosional untuk menarik pengikut. Video YouTube sering menampilkan kisah “kebangkitan spiritual” setelah meninggalkan “dogma sains”. Pengikut menggambarkan diri sebagai “pencari kebenaran” yang berani melawan arus, sebuah citra yang menarik bagi mereka yang merasa teralienasi dari masyarakat modern (Olshansky et al., 2024).

Penutup

Teori Bumi Datar bukan sekadar kesalahan logika, melainkan contoh nyata bagaimana pseudosains modern berlangsung: ia menyamar sebagai sains dengan jargon teknis dan “eksperimen” palsu, sambil menyuntikkan keraguan pada metode ilmiah yang sah.

Seperti virus, pseudosains ini bertahan bukan karena kebenarannya, tetapi karena kemampuannya memanfaatkan celah dalam literasi sains dan rasa haus akan “rahasia yang disembunyikan elit”. FET mengingatkan kita bahwa di era informasi, pertarungan terbesar bukanlah melawan kebodohan, tetapi melawan narasi pseudosains yang menawarkan kepastian emosional, sebuah ilusi yang lebih memikat daripada kompleksitas fakta.

Penulis: Redaksi Insight by Research

Baca Juga

Pengertian Sesat Pikir (Logical Fallacy)?

Law of Attraction dan Quantum Healing adalah PseudosainsIlusi Psikologis dan Risiko Law of Attraction (LOA)

Scroll to Top