Di banyak kebudayaan, keyakinan bahwa manusia dapat berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal adalah sebuah hal yang lumrah. Ritual pemanggilan arwah leluhur, persembahan untuk nenek moyang, atau kepercayaan akan reinkarnasi menunjukkan betapa konsep kepercayaan terhadap kehidupan setelah mati mengakar dalam pemikiran manusia.
Meskipun bervariasi dalam bentuk, seluruh kepercayaan tentang kehidupan setelah mati berakar pada pertanyaan yang sama: “Bagaimana nasib kesadaran manusia setelah kematian?”
Penelitian Jesse Bering (2002) dalam “Intuitive Conceptions of Dead Agents’ Minds” menunjukkan bahwa jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya bergantung pada keyakinan religius atau filosofis, tetapi juga pada mekanisme kognitif bawaan manusia, khususnya Teori Pikiran (Theory of Mind/ToM), yaitu kemampuan untuk memahami bahwa orang lain memiliki pikiran, keinginan, dan emosi yang terpisah dari dirinya sendiri.
ToM, sebagai kesadaran kognitif bawaan, berperan seperti simulator mental yang memungkinkan kita “membaca” keadaan psikologis orang lain. Namun, simulator ini juga aktif ketika kita membayangkan orang yang sudah meninggal. Dengan kata lain, manusia memahami bahwa orang yang telah meninggal tetap hidup dengan pikiran, keinginan, dan emosi yang independen meskipun terpisah dari fisik yang telah menjadi jasad.
Bering (2002) menemukan bahwa partisipan dari berbagai keyakinan, termasuk ateis, agnostik, dan penganut keabadian jiwa, secara konsisten membedakan fungsi mental yang dianggap berhenti setelah kematian.
Misalnya, mereka sepakat bahwa fungsi biologis (seperti lapar) dan persepsi (seperti melihat) berakhir, tetapi meyakini bahwa emosi (misalnya kemarahan), keinginan (seperti keinginan untuk hidup), dan pengetahuan (sepengetahuan bahwa dirinya telah mati) tetap bertahan. Bahkan partisipan yang mengklaim diri sebagai extinctivist (percaya kesadaran musnah total) menyatakan bahwa 64% fungsi mental “abstrak” seperti keinginan masih ada.
Bering menyebut fenomena ini sebagai “Simulation Constraint Hypothesis”: manusia kesulitan membayangkan ketiadaan kesadaran karena ToM secara otomatis mengaitkan “pikiran” dengan keberadaan subjektif. Seperti mencoba membayangkan “tidak berpikir”, upaya itu sendiri adalah bentuk berpikir. Kita tidak bisa sepenuhnya mengosongkan representasi mental tentang orang mati.
Keterangan tersebut konsisten dengan pembedaan EIA (easy-to-imagine-absence) dan DIA (difficult-to-imagine-absence) states dalam penelitian Bering. Fungsi mental seperti lapar (EIA) mudah dibayangkan ketiadaannya karena kita pernah mengalaminya, sementara fungsi seperti berpikir sulit dihilangkan dari kesadaran, sehingga dianggap abadi.
Mekanisme ini menjelaskan mengapa ada ritual sedekah bumi berupa makanan untuk para leluhur, sebagaimana tradisi yang masih bertahan di sebagian masyarakat Indonesia. ToM membuat kita secara intuitif merasa bahwa “pikiran” leluhur masih bisa mendengar, meski secara logis kita tahu tubuh mereka telah mati.
Namun, studi lintas budaya oleh Barrett et al. (2021) dalam “Intuitive Dualism and Afterlife Beliefs: A Cross-Cultural Study” mengungkap kompleksitas lebih besar. Penelitian ini melibatkan enam masyarakat dengan kepercayaan beragam, termasuk komunitas Kristen di Chicago dan masyarakat Shuar di Ekuador.
Hasilnya mengejutkan: mayoritas partisipan (termasuk yang religius) menjawab bahwa semua fungsi mental, seperti mengingat atau merasa bahagia, berhenti total setelah kematian. Misalnya, ketika ditanya “Apakah orang mati bisa mendengar suara kita?”, lebih dari 70% partisipan dari berbagai budaya menjawab “tidak”. Bahkan di komunitas Shuar yang memiliki ritual penghormatan arwah, hanya 14% yang konsisten meyakini keberlanjutan mental setelah kematian.
Kontradiksi ini terlihat jelas dalam contoh masyarakat Marajó di Brazil dan Vezo di Madagaskar (Barrett et al., 2021). Kedua kelompok ini melakukan ritual untuk leluhur, seperti memberi persembahan makanan. Namun, ketika ditanya apakah orang mati masih membutuhkan makanan, mayoritas menjawab “tidak”. Temuan tersebut mencerminkan konflik kognitif antara praktik budaya dan intuisi dasar: ritual dilakukan sebagai bentuk penghormatan simbolis, bukan karena yakin arwah benar-benar makan.
Kepercayaan pada reinkarnasi, seperti dalam agama Hindu atau masyarakat Shuar, menunjukkan betapa rumitnya pemahaman manusia tentang kehidupan setelah mati. Meski kelompok-kelompok ini secara terbuka meyakini bahwa jiwa dapat terlahir kembali dalam tubuh baru, partisipan Shuar dalam penelitian Barrett et al. (2021) justru menyangkal bahwa pengetahuan atau ingatan seseorang bertahan setelah kematian.
ToM memfasilitasi konsep reinkarnasi dengan memisahkan “jiwa” dari tubuh, tetapi intuisi materialis tetap membatasi sejauh mana fungsi mental spesifik dianggap bertahan. Dengan kata lain, meskipun Teori Pikiran (ToM) memungkinkan manusia membayangkan “jiwa” sebagai entitas terpisah dari tubuh (sehingga memicu konsep reinkarnasi), intuisi alami mereka tetap didominasi oleh pemahaman bahwa fungsi mental, seperti mengingat atau berpikir, bergantung pada tubuh fisik. Jadi ada dilema yang menarik: di satu sisi mereka percaya, tapi di sisi lain sebenarnya tidak percaya-percaya amat.
Pada akhirnya, penelitian Bering (2002) dan Barrett et al. (2021) mengungkap bahwa ToM berperan sebagai fondasi kognitif universal untuk membayangkan kesadaran sebagai entitas independen. Namun, budaya menentukan bagaimana fondasi ini diinterpretasikan, terutama apakah sebagai ritual penghormatan arwah, keyakinan akan surga, atau penolakan terhadap kehidupan setelah mati.
Temuan ini juga menjelaskan mengapa ateis sekalipun kadang secara spontan “berbicara” pada foto orang tercinta yang telah meninggal: ToM bekerja di luar kendali kesadaran logis.
Singkatnya, kepercayaan tentang kematian bukanlah soal “benar” atau “salah”, melainkan cerminan interaksi antara mekanisme otak purba (seperti ToM) dan kompleksitas budaya manusia. Seperti software yang dijalankan pada hardware otak, ToM menyediakan kapasitas dasar untuk membayangkan “pikiran” orang mati, tetapi narasi spesifik tentang kematian dibentuk oleh nilai-nilai budaya dan agama.
Penulis: Redaksi Insight by Research