Tidak Semua Keyakinan Agama Bisa Ditoleransi Tanpa Sikap Kritis

September 2024, sebuah perampokan berujung maut terjadi di Kabupaten Bogor. Resti, seorang ibu rumah tangga dan kreator konten TikTok, menjadi korban perampokan brutal yang merenggut nyawa suaminya, Haris. Perampok tersebut juga melukai Resti beserta anggota keluarganya. Bukannya memberikan simpati, warganet, yang tidak tahu-menahu kejadian tersebut justru menuding korban melakukan “hasad” (iri) atau ain (mata jahat) karena kerap memamerkan rumah mewahnya di media sosial.

Seperti dilaporkan oleh Bukamata.co, dalam unggahan Instagram @memo_medsos, banyak komentar warganet menyalahkan Resti. Salah satunya dari akun Ugi Sugai yang menulis:

“Ini yang dinamakan penyakit hasad, di mana apa yang kita pamerkan ke orang banyak akan merugikan diri sendiri atau disebut juga penyakit ain. Kita tak akan tahu isi hati seseorang akan jerih payah kita selama ini.”

Respons ini mencerminkan bagaimana konsep agama seperti hasad dan ain digunakan untuk membalikkan narasi, seolah-olah korban adalah pihak yang bersalah karena “memancing” kejahatan. Alih-alih mengutuk tindakan kriminal, fokus beralih ke “dosa” korban, seakan tragedi tersebut adalah “hukuman ilahi.”

Padahal, fakta penyelidikan polisi mengungkap motif murni kriminal. Menurut Okezone, Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Teguh Kumara menjelaskan bahwa pelaku (inisial D) dan korban telah lama saling mengenal, bahkan terlibat transaksi keuangan.

Mobil, yang menjadi barang bukti, adalah mobil yang digadaikan tersangka kepada korban sebesar Rp23 juta. Tidak ada kaitannya dengan kebiasaan korban yang pamer rumah di media sosial karena pelaku dan korban sudah saling mengenal. Pelaku sudah pernah dan tahu kerumah korban, tanpa melalui informasi dari media sosial. Data ini membantah narasi media sosial yang menyalahkan korban atas dasar keyakinan agama.

Keyakinan Agama: Ranah Publik vs. Privat

Dalam masyarakat yang mengagungkan toleransi, seperti di Indonesia, kita sering diingatkan untuk “menghormati keyakinan orang lain”. Kasus Resti mendorong pertanyaan penting, “apakah semua bentuk keyakinan layak dihormati tanpa dikritisi?”

Untuk memperjelas signifikansi dari pertanyaan tersebut, perlu didudukkan terlebih dahulu bahwa tidak semua keyakinan (terutama yang bersumber dari sumber keagamaan) adalah berada pada ranah privat.

Dalam banyak kasus, keyakinan tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan preferensi pribadi seperti selera musik atau makanan. Sebagaimana ketika keyakinan agama membuat klaim tentang realitas, misalnya ajaran agama mengatakan bahwa kelompok lain pantas disiksa di neraka atau bahwa penyakit adalah penebus atau hukuman dosa, ajaran-ajaran semacam itu tidak lagi berada di ranah privat.

Klaim itu pada gilirannya memengaruhi cara kita memperlakukan sesama. Misalkan, ajaran agama meyakini bahwa penyakit tertentu adalah penggugur dosa, atau bahkan konsekuensi dari tindakan dosa, alih-alih mendukung penelitian ilmiah untuk pengobatan.

Hal ini menegaskan bahwa keyakinan agama dari ranah privat berimplikasi pada ranah publik. Lebih dari itu, keyakinan semacam ini tidak hanya sangat patut dibantah, tetapi juga berbahaya karena mengarah pada penghakiman dan pengabaian solusi rasional.

Pertanyaannya kembali mengemuka, apakah jenis-jenis keyakinan seperti contoh yang disebutkan layak ditoleransi, tatkala sikap menghormati keyakinan sama halnya membiarkan klaim tidak berdasar merajalela atas nama toleransi?

Dampak Keyakinan yang Tidak Dikritisi

Keyakinan agama yang tidak dikritisi dapat menjadi alat melegitimasi irasionalitas, dominasi, dan bahkan menghilangkan sikap empati serta pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana dijelaskan Daniel Dennett dalam “Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon”. Agama, tulis Dennett, sebagai produk sampingan evolusi manusia, sering kali bertahan karena manfaat psikologisnya seperti memberikan rasa nyaman atau ikatan sosial, meskipun secara objektif dapat menimbulkan konsekuensi negatif.

Hal ini mendorong Dennett mengusulkan seharusnya agama dipahami sebagai fenomena alamiah yang perlu dikaji secara kritis melalui pendekatan ilmiah, bukan dianggap sebagai wilayah yang kebal dari analisis rasional. Perspektif ini mengungkap bahaya pembiaran terhadap keyakinan agama yang mendorong irasionalitas massal, seperti penolakan terhadap temuan sains atau pembenaran kekerasan atas nama dogma.

Wendy Brown dalam “Regulating Aversion” memberikan analisis lebih mendalam tentang politik toleransi yang justru berpotensi melanggengkan ketidakadilan. Brown mengungkap bahwa wacana toleransi dalam masyarakat liberal sering kali menjadi alat untuk mengatur dan mengontrol kelompok minoritas, alih-alih mengakui kesetaraan mereka secara substantif.

Mekanisme ini menciptakan hierarki tersembunyi di mana kelompok dominan menentukan siapa yang layak “ditoleransi” dan sejauh mana, sambil mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Dalam konteks keyakinan agama, pola ini terlihat jelas ketika doktrin tertentu digunakan untuk membatasi hak-hak kelompok rentan seperti perempuan atau minoritas seksual, yang kemudian dibiarkan dengan dalih menghormati keyakinan agama.

Seperti yang disinggung sebelumnya, dampak paling nyata dari toleransi tanpa sikap kritis adalah pelanggaran HAM yang sistematis. Dennett mengingatkan bahwa klaim sakralitas agama sering kali digunakan sebagai tameng untuk menghindari pertanggungjawaban rasional atas keyakinan yang berdampak bagi publik.

Contoh konkret adalah pembatasan hak-hak dasar tertentu yang dilakukan dengan mengatasnamakan doktrin agama, seperti larangan pendirian rumah ibadah bagi minoritas atau pembatasan hak reproduksi perempuan.

Brown menambahkan bahwa dalam banyak kasus, wacana toleransi justru menjadi bentuk “kekerasan simbolik” yang melegitimasi ketidaksetaraan melalui bahasa yang seolah-olah inklusif. Hal ini terlihat ketika negara mengadopsi kebijakan yang mengistimewakan agama mayoritas sambil mengucilkan minoritas, semua atas nama menjaga “kerukunan beragama”.

Toleransi Substansial

Solusi terhadap masalah ini bukanlah penolakan terhadap toleransi itu sendiri, melainkan transformasi mendasar dalam memahaminya. Dennett menekankan pentingnya pendekatan ilmiah untuk mengkaji agama secara objektif, membedakan antara keyakinan yang konstruktif dan yang destruktif. Sementara Brown mengajak kita untuk mendekonstruksi wacana toleransi yang selama ini digunakan sebagai alat kekuasaan, dan menggantinya dengan kerangka keadilan yang substantif.

Kedua pemikir ini sepakat bahwa masyarakat perlu mengembangkan kemampuan untuk melakukan kritik terbuka terhadap semua bentuk keyakinan, termasuk keyakinan agama, tanpa takut dianggap intoleran. Hanya dengan pendekatan kritis seperti inilah kita dapat membangun toleransi yang sejati, bukan sekadar pembiaran pasif, tetapi pengakuan aktif terhadap martabat semua manusia sambil menolak klaim-klaim yang merusak tatanan sosial dan hak-hak dasar manusia.

Penutup

Pada akhirnya, menghormati keyakinan secara membabi buta adalah pengkhianatan terhadap kebenaran dan kemanusiaan. Tragedi Resti dan keluarganya seharusnya menjadi momentum untuk berefleksi: apakah keyakinan agama kita mendorong empati atau justru penghakiman? Toleransi sejati bukan berarti diam terhadap kebatilan, melainkan keberanian untuk berdialog, mengkritik, dan memperbaiki kesalahan.

Keyakinan yang sehat adalah yang bisa bertahan dari ujian logika, empati, dan zaman. Dengan menolak memberi “hormat” pada keyakinan yang merusak, kita justru memberi ruang bagi nilai-nilai universal: keadilan, kasih sayang, dan penghargaan atas hak setiap manusia untuk hidup tanpa rasa takut. Kasus Bogor mengingatkan kita bahwa toleransi pasif hanya melanggengkan ketidakadilan penghakiman irasional.

Penulis: Dian Dwi Jayanto

Scroll to Top